tag:blogger.com,1999:blog-11105354855799031872024-03-13T06:19:33.789+07:00Blog Smart ConsultantUnknownnoreply@blogger.comBlogger42125tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-30305321986035476712019-03-18T21:14:00.000+07:002019-03-18T21:14:19.526+07:00Gender<div style="text-align: justify;">
Sejarah dan Pengertian Gender<br />
<br />
Gender memang tidak bersifat universal, tetapi hierarki gender dapat dikatakan universal. Oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah konsep gender. Secara garis besar teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hierarki gender dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: teori adaptasi awal, teori teknik-lingkungan, teori sosiobiologi, dan teori struktural.1 <br />
<br />
Teori Adaptasi Awal menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja secara seksual. Teori adaptasi awal dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut:<br />
1.Berburu sangat penting bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.<br />
2.Laki-lakilah yang hampir selalu melakukan kegiatan berburu.<br />
3.Perempuan tergantung pada laki-laki untuk memperoleh daging.<br />
4.Laki-laki berbagi daging buruannya terutama dengan istri-istrinya dan anak-anaknya.<br />
5.Sekali pola pembagian peran berdasarkan jenis kelamin ini terbentuk, dia tidak berubah hingga sekarang.<br />
<br />
Teori teknik-lingkungan didasarkan pada apa yang dianggap sebagai hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya dan tekanan penduduk. Teori ini menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah menjadi masalah sejak dulu. Dalam konteks ini, subordinasi perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.<br />
<br />
Menurut teori Teori Sosiobiologi dominasi laki-laki muncul sebagai akibat seleksi alam, terutama yang berkaitan dengan ketahanan tubuh. Serangkaian teori yang dikelompokkan dalam kategori teori struktural dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus universal. Salah satu kelompok teori yang masuk golongan struktural ini beranggapan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah dan otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik.Kelompok lain dari teori stuktural berpendapat bahwa subordinasi perempuan itu struktural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal antara perempuan dengan alam dan laki-laki dengan budaya.<br />
<br />
Kemudian apakah konsep gender itu sendiri? Beberapa tahun terakhir, gender menjadi satu kajian keilmuan tersendiri yang mampu melakukan kajian analisa atas berbagai kasus permasalahan kehidupan bermasyarakat. Meskipun demikian banyak sekali kesalahpahaman dalam masyarakat menyangkut apa itu gender. Gender menjadi identik dengan perjuangan kaum perempuan. Pemahaman gender menjadi lebih sempit kepada pengertian seks (jenis kelamin) semata padahal gender mempunyai satu pengertian dan pemahaman yang lebih luas dari hanya sekedar pengertian seks (jenis kelamin) tersebut.<br />
Pembedaan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin), merupakan langkah awal untuk memahami konsep gender dan persoalan yang dialami kaum perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities), karena secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Seks (jenis kelamin) merupakan pemberian atau ketentuan Tuhan (kodrat). Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan, artinya alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak berubah.<br />
<br />
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.2 Julia Cleves Mosse menggambarkan gender sebagai seperangkat peran, seperti halnya kostum dan topeng dalam teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin.3 Berbeda dengan seks, dalam gender sifat yang melekat pada manusia dapat ditukar, maksudnya laki-laki dapat bersifat seperti perempuan, dan juga sebaliknya perempuan dapat bersifat seperti laki-laki. Jadi konsep gender dapat pula diartikan sebagai semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya.4<br />
<br />
Seorang ahli antropologi, Alice Schlegel, menggunakan istilah gender meaning (pengartian gender) yang mempunyai arti serupa dengan ideologi gender, yaitu bagaimana kedua jenis kelamin “dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”. Menurutnya pengertian gender ini bisa dibedakan dalam pengertian umum dan pengartian khusus.<br />
<br />
Pengertian umum adalah “bagaimana laki-laki dan perempuan didefinisikan dalam arti yang abstrak, yaitu ciri-ciri khusus yang diberikan pada mereka atas dasar jenis kelamin mereka”. Sedangkan pengartian khusus adalah “pendefinisian gender menurut lokasi tertentu dalam struktur sosial atau dalam bidang kegiatan tertentu”. 5 Adapun sejarah perbedaan gender terjadi melalui proses yang sangat panjang, antara lain dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial melalui ajaran agama maupun negara, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.<br />Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tetapi perbedaan gender tidak selalu bertumpu pada perbedaan biologis. Misalnya, fungsi mengasuh anak dan pengurusan rumah tangga tidak selalu dikerjakan oleh perempuan atau ibu. Bahkan seringkali perempuan aktif dalam pekerjaan yang pada masyarakat ”Barat” digolongkan sebagai “pekerjaan laki-laki”. Oleh karena jenis pekerjaan tersebut dapat dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai “kodrat perempuan” dalam kasus mendidik anak dan mengatur rumah tangga, sesungguhnya adalah gender<br />
<br />
Referensi<br /><br />1 Fauzie Ridjal, dkk.(editor), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesial, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, hal. 33-34.<br />2 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 1996, hal. 8.<br />3 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 3. <br />4 Mansour Fakih, Op.Cit., hlm. 9. Schegel , diambil dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, hlm 196.<br /><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br /></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-65605707595510034602016-09-22T14:33:00.001+07:002016-09-22T14:33:39.542+07:00Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah<div style="text-align: justify;">
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Kegiatan usaha atau operasional bank syariah menganut 3 (tiga) prinsip utama dalam bank syariah. Prinsip-prinsip utama tersebut adalah : </span><span style="font-size: small;"> </span><br />
<br /><div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"> 1. Prinsip Keadilan</span><span style="font-size: small;"> Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin </span><span style="font-size: small;">keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah</span><br />
<span style="font-size: small;"> </span><br /><span style="font-size: small;"> 2. Prinsip Kesederajatan<br /> Bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko dan keuntungan yang berimbang diantara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /> 3. Prinsip Ketentraman<br /> Produk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah mu’amalah Islam (halal), antara lain ada unsur riba dan menerapkan zakaat harta. Dengan demikian nasabah merasakan ketentraman lahir maupun batin.</span><br />
<span style="font-size: small;"> </span><br />
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Berdasarkan pada 3 (tiga) prinsip utama bagi bank syariah tersebut di atas, maka dalam operasional kegiatan pelayanan kepada masyarakat bank syariah menerapkan prinsip-prinsip dasar perbankan syariah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah : </span><br />
<span style="font-size: small;">1. Prinsip Titipan atau Simpanan (depository/Al Wadi’ah)</span><br />
<span style="font-size: small;">2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing/Al Musyarakah & Al Mudharabah)</span><br />
<span style="font-size: small;">3. Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase/Bai’ Al Murabahah)</span><br />
<span style="font-size: small;">4. Prinsip Sewa (Lease/Al Ijarah)</span><br />
<span style="font-size: small;">5. Prinsip Jasa (Fee Based Services)</span><br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="font-size: small;">Prinsip titipan atau simpanan dalam tradisi fiqh Islam dikenal dengan prinsip Al Wadi’ah. Al Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Akad Wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia. Wadi’ah yang dipraktekan pada bank-bank syariah di Indonesia adalah wadi’ah dalam pengertian sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakan oleh pihak bank, sehingga konsep wadi’ah yang dipergunakan adalah wadi’ah yad ad daminah (titipan dengan risiko ganti rugi). Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam 4 (empat) akad utama, yaitu : al musyarakah, al mudharabah, al muzara’ah dan al musaqah. Sungguh pun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqah dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian (plantation financing) oleh beberapa bank syariah.</span> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: x-small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Al musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan al mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi akan ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian dari si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Bentuk-bentuk akad jual beli yang sering dipergunakan dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah adalah bai’ al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Sistem pembiayaan ini pada dasarnya adalah pembiayaan dengan sistem jual beli, dimana bank membiayai pembelian barang kepada nasabah adalah sebesar harga pokok barang ditambah margin keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabah. Sedangkan pengertian dari bai’ as salam adalah pembelian barang yang akan diserahkan di kemudian hari dengan pembayaran yang dilakukan di muka.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: x-small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Prinsip sewa (al ijarah) adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Bank syariah yang menawarkan produk al ijarah ini dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease.Di samping keempat prinsip dasar dalam perbankan syariah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka masih terdapat satu prinsip dasar lagi yaitu prinsip jasa. Termasuk dalam kelompok jasa ini terdapat beberapa produk bank syariah, yaitu : al wakalah, al kafalah, al hawalah, ar-rahn dan al qardh. Prinsip jasa dalam perbankan syariah ini merupakan prinsip yang bersifat mendukung dan melengkapi terhadap prinsip-prinsip dasar lainnya, karena dalam kelompok jasa ini biasanya dipergunakan sebagai akad tambahan yang bersifat jaminan/menjamin terhadap produk/akad lain.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: x-small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: x-small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Daftar pustaka</span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dewan Redaksi Ensiklopedia Hukum Isalm, 1997.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid 6, P.T. Ichtiar Baru Van Houve , Jkt.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Muh. Syafi'i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Tazkia Institute, 1999.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sutan Reny Syahdeini, Perbankan Islam, P.T., Pustaka Utama Grafiti, Jkt.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Team Smart </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<span class="fullpost"></span>
<!--[if !mso]>
<style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style>
<![endif]-->
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>KO</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:shapedefaults v:ext="edit" spidmax="1027"/>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:shapelayout v:ext="edit">
<o:idmap v:ext="edit" data="1"/>
</o:shapelayout></xml><![endif]--></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-85859174940013674042015-06-12T05:30:00.002+07:002015-07-01T22:11:43.261+07:00Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia<div style="text-align: justify;">
Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, di antaranya merupakan kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaannya boleh ditunda, yaitu termasuk ke dalam kategori derogable rights. Hak-hak yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Ada pula sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaanya dalam keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non derogable rights. Hak-hak yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak diberlakukan hukum yang berlaku surut, dan hak untuk bebas berpikir, berhati nurani dan beragama.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang bersifat non derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu pelanggaran berat HAM. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata “berat” bermaksud untuk menggambarkan tingkat kerusakan, kerugian atau penderitaan yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Apa yang dimaksud dengan istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, belum mendapat kesepakatan yang diterima secara umum. Biasanya kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa parahnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata “berat” juga berhubungan dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non derogable.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah direncanakan. Misalnya, kebijakan apartheid yang diskriminatif di Afrika Selatan pada masa lalu. Kebijakan tersebut oleh pemerintah Afrika Selatan secara nyata telah membeda-bedakan perlakuan terhadap warga negaranya berdasarkan warna kulit (ras), yaitu antara negro dan kulit putih. Kebijakan “kemurnian ras” yang dilakukan secara sistematis oleh Nazi Jerman semasa Adolf Hitler berkuasa, yaitu dengan melakukan genosida terhadap kaum Yahudi dan Gipsi merupakan pelanggaran berat HAM.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Pelanggaran berat HAM juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang meluas atau widespread. Hal ini biasanya akan mengarah kepada jumlah korban yang sangat besar dan kerusakan parah secara luas yang ditimbulkannya. Namun demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran berat HAM. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan istilah gross and sistematic violations, the most serious crimes, gross violations, grave violations dan sebagainya.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran berat HAM sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk (population) secara keseluruhan atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus menerus dilanggar atau diancam.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di dalam resolusi, deklarasi, maupun dalam perjanjian HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius. Akan tetapi, hukum HAM internasional khususnya yang dikembangkan di dalam lingkup PBB telah mengakui adanya pelanggaran HAM yang berkategori berat dan sistematis. Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat HAM akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi, “the prohibition of slavery, the rights to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ethnic cleansing”<br />
<br />
Dalam studinya, the Battle of Human Rights: Gross Systematic Violations and the Inter-American System, dalam Bab II, Cecilia Medina Quiroga mengajukan proposal mengenai definisi “pelanggaran hak asasi manusia yang berkategori berat dan sistematik”. Mengenai jenis hak yang dilanggar, ia menyebut hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi.<br />
<br />
Pelanggaran berat HAM menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang dimaksud dengan kejahatan genosida:<br />
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”.<br />
<br />
Adapun yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah:<br />
“Suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.<br />
<br />
Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas substansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma. Menyangkut pelanggaran berat HAM, di dalam the US Restatement of Law dikatakan bahwa suatu pelanggaran HAM dianggap “berat” apabila pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan, karena begitu pentingnya hak yang dilanggar atau beratnya pelanggaran.<br />
<br />
Pelanggaran berat HAM termasuk pula dalam kategori extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan).<br />
<br />
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, walaupun hingga kini belum didefinisikan secara tegas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran berat HAM adalah pelanggaran terhadap HAM yang bersifat non derogable rights serta di dalamnya mengandung unsur-unsur yang bersifat sistematis dan meluas.<br />
<br />
<br />
Daftar Pustaka<br />
<br />
Andrey Sujatmoko, 2005, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan lainnya, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005.<br />
<br />
Baehr, 1999, Human Rights Universality in Practice, St. Martin’s Press, New York.<br />
<br />
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan, dalam F. Budi Hardiman, et.al., 2003, Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta.<br />
<br />
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM<br />
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM<br />
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM<br />
<br />
<br />
<br />
<i>Team Smart </i><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-27716040938731425762015-04-13T13:10:00.001+07:002015-04-13T13:12:14.652+07:00Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional<div style="text-align: justify;">
Praktek bank konvensional dan bank syariah dalam beberapa hal memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan dan persyaratan administratif lainnya. Akan tetapi secara mendasar, diantara kedua sistem bank tersebut terdapat banyak perbedaan. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha atau produk perbankan dan lingkungan kerja <br />
<br />
Berdasarkan prinsip yang berlaku dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrowi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, yaitu mengenai hukum dan syaratnya. Rukun dari akad dalam bank syariah adalah adanya para pihak (nasabah dan bank), adanya obyek akad, kesepakatan mengenai nilai akad dan adanya ikrar ijab qabul. Sedangkan sebagai syaratnya antara lain adalah mengenai jenis barang/jasa harus jelas, tempat penyerahan barang/jasa dan masalah hak kepemilikan atas barang/jasa yang menjadi obyek akad. <br />
<br />
Perbedaan dari segi struktur organisasi antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank konvensional. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap pendapat yang diberikan oleh Dewan Pengawas syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.<br />
<br />
Bisnis dan usaha yang dilakukan oleh bank syariah tidak terlepas dari saringan nilai-nilai syariah. Oleh karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha/proyek yang didalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan. Suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan terlebih dahulu beberapa hal pokok sebagai berikut : <br />
1. Apakah obyek pembiayaan itu halal atau haram?<br />
2. Apakah proyek itu akan menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?<br />
3. Apakah proyek tersebut berkaitan dengan perbuatan asusila?<br />
4. Apakah proyek itu berkaitan dengan perjudian?<br />
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?<br />
6. Apakah proyek itu dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?<br />
<br />
Apabila terdapat perselisihan atau perbedaan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak akan menyelesaikannya melalui pengadilan, akan tetapi mereka akan menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tata cara dan hukum yang berlaku dalam syariah Islam. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Mahkamah Agung dan Majelis Ulama Indonesia.<br />
<br />
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shidiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga dan sesuai dengan akhlaq seorang muslim/muslimah yang baik.<br />
<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Daftar Pustaka<br />
<br />
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.<br />
M. Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta.<br />
<br />
<br />
<br />
<i> Team Smart </i><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<br />
<span class="fullpost"></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com1Kota Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55288, Indonesia-7.716165 110.33540300000004-33.2381995 69.026809000000043 17.8058695 151.64399700000004tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-56669651018392035372015-03-24T14:35:00.002+07:002015-03-24T14:35:41.811+07:00Kepercayaan merk<div style="text-align: justify;">
<br /><span class="fullpost"></span>
Kepercayaan merek (trust in a brand) didefinisikan sebagai keinginan pelanggan untuk bersandar pada sebuah merek dengan risiko-risiko yang dihadapi karena ekspektasi terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif (Tjahyadi, 2006:71). Kepercayaan konsumen terhadap merek merupakan variabel yang menghasilkan komitmen pelanggan dengan keterlibatan yang tinggi, di mana memiliki efek yang kuat dalam penilaian konsumen terhadap kepuasan secara keseluruhan (Delgado dan Munuera 2001 dalam Hasan Afzal, et.al, 2010).<br />
<br /><span class="fullpost"></span>
Kepercayaan memiliki dua dimensi, yaitu kredibilitas dan benevolence. Kredibilitas didasarkan pada keyakinan akan keahlian partner untuk melakukan tugasnya secara efektif dan dapat diandalkan. Benevolence adalah suatu keyakinan bahwa maksud dan motivasi partner akan memberikan keuntungan bersama (Doney dan Canon, 1997 dalam Tjahyadi, 2006:71). Hal ini menjelaskan bahwa penciptaan awal hubungan dengan partner didasarkan pada trust (kepercayaan).<br />
<br />
Menurut Lau dan Lee (dalam Yohana, 2007), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Ketiga factor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut adalah merek itu sendiri (Brand characteristic), perusahaan pembuat merek (Company characteristic), dan konsumen (Consumer-brand characteristic).<br />
1. Brand characteristic <br /> Brand characteristic mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan pengambilan keputusan konsumen untuk mempercayai suatu merek. Hal ini disebabkan oleh konsumen melakukan penilaian sebelum membeli. Karakteristik merek yang berkaitan dengan kepercayaan merek meliputi mempunyai reputasi (Brand Reputation), dapat diramalkan (Brand Predictability), dan kompetensi merek (Brand Competence) (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:72).<br />
a. Brand Reputation<br /> Brand reputation berkenaan dengan opini dari orang lain bahwa merek itu baik dan dapat diandalkan (reliable). Reputasi merek dapat dikembangkan bukan saja melalui advertising dan public relation, tapi juga dipengaruhi oleh kualitas dan kinerja produk. Pelanggan akan mempersepsikan bahwa sebuah merek memiliki reputasi baik, jika sebuah merek dapat memenuhi harapan mereka, maka reputasi merek yang baik tersebut akan memperkuat kepercayaan pelanggan (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:73).<br />
<br />
b. Brand Predictability<br />
Predictable brand adalah merek yang memungkinkan pelanggan untuk mengharapkan bagaimana sebuah merek akan memiliki performance pada setiap pemakaian. Predictability mungkin karena tingkat konsistensi dari kualitas produk. Brand predictability dapat meningkatkan keyakinan konsumen karena konsumen mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi ketika menggunakan merek tersebut. Karena itu, brand predictability akan meningkatkan kepercayaan terhadap merek karena predictability menciptakan ekspektasi positif (Kasperson et al., 1992; Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:73).<br />
<br />
c. Brand Competence<br /> Brand competence adalah merek yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan, dan dapat memenuhi kebutuhannya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian dan karakteristik yang memungkinkan suatu kelompok memiliki pengaruh dalam suatu wilayah tertentu (Butler dan Cantrell, 1984; Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:73). Ketika diyakini bahwa sebuah merek itu mampu untuk menyelesaikan permasalahan dalam diri pelanggan, maka pelanggan tersebut mungkin berkeinginan untuk meyakini merek tersebut.<br />
<br />
2. Company characteristic<br /> Company characteristic yang ada dibalik suatu merek juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan yang ada di balik merek suatu produk merupakan dasar awal pemahaman konsumen terhadap merek suatu produk. Karakteristik ini meliputi kepercayaan terhadap perusahaan (Trust in Company), reputasi perusahaan (Company Reputation), motivasi perusahaan yang diinginkan (Company Perceived Motives), dan integritas suatu perusahaan (Company Integrity) (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:72). <br />
a. Trust in the Company<br /> Dalam kasus perusahaan dan mereknya, perusahaan merupakan entitas terbesar dan merek merupakan entitas terkecil dari entitas terbesar tersebut. Sehingga, pelanggan yang percaya terhadap perusahaan kemungkinan percaya terhadap mereknya (Tjahyadi, 2006:74).<br />
<br />
b. Company Reputation<br /> Ketika pelanggan mempersepsikan opini orang lain bahwa perusahaan dikenal adil dan jujur, maka pelanggan akan merasa lebih aman dalam memperoleh dan menggunakan merek perusahaan. Dalam konteks saluran pemasaran, ketika perusahaan dinilai memiliki reputasi yang baik, maka pelanggan kemungkinan besar akan percaya pada pengecer dan vendor (Anderson dan Weitz, 1992 dalam Tjahyadi, 2006:74).<br />
<br />
c. Company Reputation<br /> Ketika pelanggan mempersepsikan opini orang lain bahwa perusahaan dikenal adil dan jujur, maka pelanggan akan merasa lebih aman dalam memperoleh dan menggunakan merek perusahaan. Dalam konteks saluran pemasaran, ketika perusahaan dinilai memiliki reputasi yang baik, maka pelanggan kemungkinan besar akan percaya pada pengecer dan vendor (Anderson dan Weitz, 1992 dalam Tjahyadi, 2006:74).<br />
<br />
d. Company Integrity<br /> Integritas perusahaan merupakan persepsi pelanggan yang melekat pada sekumpulan dari prinsip-prinsip yang dapat diterima. Perusahaan yang memiliki integritas tinggi tergantung pada konsistensi dari tindakannya di masa lalu, komunikasi yang akurat tentang perusahaan dari kelompok lain, keyakinan bahwa perusahaan memiliki sense of justice yang kuat, serta tindakannya sesuai dengan janji-janjinya. Jika perusahaan dipersepsikan memiliki integritas tersebut, maka kemungkinan merek perusahaan akan dipercaya oleh pelanggan (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:74).<br />
<br />
3. Consumer-brand characteristic<br /> Consumer-brand characteristic merupakan dua kelompok yang saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, karakteristik konsumen – merek dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan antara konsep emosional konsumen dengan kepribadian merek (Similarity between Consumer self-concept & Brand Personality), kesukaan terhadap merek (Brand Liking), pengalaman terhadap merek (Brand Experience), Kepuasan akan merek (Brand Satisfaction), dan Dukungan teman (Peer Support) (Lau dan Lee, 1999Tjahyadi, 2006:72). <br />
Masing-masing karakteristik, dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />
<br />
a. Kemiripan antara konsep diri konsumen dan personalitas merek <br /> Konsep diri merupakan totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai objek sehingga sering kali dalam konteks pemasaran dianalogkan merek sama dengan orang (Riana, 2008:186). Merek mempunyai citra dan personalitas dimana citra merek merupakan satu set asosiasi yang dihubungkan dengan satu merek yang selalu diingat konsumen yang dirasa memberikan personalitas. Konsumen kadang berinteraksi dengan merek layaknya dengan manusia khususnya jika merek dikaitkan dengan produk dengan keterlibatan tinggi. Dion et.al. (1995) seperti dikutip oleh Yohana (2007:67) menunjukkan bahwa persamaan personalitas antara pembeli dan sales person dalam hubungan industrial pembelian mempengaruhi trust pembeli pada sales person. Bila atribut fisik suatu merek atau personalitas dipertimbangkan menjadi sama pada citra diri konsumen maka konsumen akan mempercayainya.<br />
<br />
b. Kesukaan akan merek <br /> Kesukaan terhadap merek menunjukkan kesukaan yang dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain karena kesamaan visi dan daya tarik. Kesukaan menunjukkan kesenangan yang pasti satu pihak terhadap pihak lain karena pihak tersebut menemukan pihak lain yang lebih cocok dan menyenangkan. Untuk memulai suatu hubungan, suatu pihak harus disukai oleh pihak lain. Bagi konsumen yang akan membentuk hubungan dengan suatu merek, maka proses awalnya adalah konsumen harus menyukai merek tersebut. Ketika seorang konsumen menyukai suatu merek, maka konsumen akan terdorong untuk menemukan sesuatu yang lebih tentang merek tersebut, hal inilah yang merupakan latar belakang tahap untuk mempercayai merek tersebut. Dalam pemasaran, jika konsumen menyukai suatu merek dan menemukan merek yang menyenangkan serta cocok, konsumen mungkin akan lebih mempercayai merek tersebut atau menunjukkan keinginan untuk percaya pada merek tersebut (Lau dan Lee, 1999 seperti dikutip oleh Yohana, 2007).<br />
<br />
c. Pengalaman akan merek <br /> Pengalaman akan merek menunjukkan bertemunya merek dengan konsumen di masa lalu terutama dalam penggunaannya yang dilakukan secara berulang sehingga menghasilkan komitmen untuk jangka panjang. Pada riset yang dilakukan oleh Scanzoni (1979) dan Dwyer et al. (1987); Lau dan Lee (1999) dalam Yohana (2007), menjelaskan bahwa pengalaman dengan channel partner bertambah seiring dengan meningkatnya hubungan dan pengertian serta kepercayaan satu sama lain. Dengan perkataan lain, konsumen yang mempunyai pengalaman lebih dengan satu merek akan lebih mengerti dan makin lebih mempercayai merek tersebut yang tidak dibatasi pada pengalaman positif saja tetapi juga pada beberapa pengalaman yang memperbaiki kemampuan konsumen untuk memprediksi kinerja merek.<br />
<br />
d. Kepuasan akan merek <br /> Kepuasan akan merek dapat didefinisikan sebagai hasil dan evaluasi terpilihnya suatu merek dan beberapa alternatif yang sesuai atau bahkan melebihi harapan (Bloemer & Kasper, 1995; Lau & Lee, 1999, seperti dikutip Yohana, 2007). Dalam hubungan yang berkelanjutan, kepuasan di masa lalu mengindikasikan adanya ekuitas di dalam pertukaran. Menurut Butler (1991); Lau & Lee (1999); seperti dikutip Yohana (2007), mengidentifikasikan bahwa pemenuhan janji merupakan anteseden trust dalam hubungan pemasaran industri. Ketika konsumen puas dengan suatu merek setelah menggunakannya, situasi ini sama dengan terpenuhinya janji. <br />
<br />
e. Dukungan teman <br /> Penentu yang penting dalam perilaku individu adalah pengaruh dari orang lain dimana pembelian suatu produk oleh konsumen akan mengkonfirmasikan terlebih dahulu dengan teman satu kelompoknya untuk merespon pendapat dan reaksi mereka terhadap pemilihan dan penggunaan produk tersebut (Bearden & Rose, 1990, dalam Yohana, 2007) Konsumen akan mempercayai suatu merek jika teman yang lain juga menyampaikan tentang hal yang sama, dengan kata lain konsumen secara tidak langsung mendapatkan ijin dan dukungan dan teman satu kelompok dalam tindakan berikutnya.<br />
<br />
4. Sikap terhadap merek<br /> a. Pengertian Sikap<br /> Sikap disebut juga sebagai konsep yang paling khusus dan sangat dibutuhkan dalam psikologis sosial kontemporer. Sikap juga merupakan salah satu konsep yang paling penting yang digunakan pemasar untuk memahami konsumen. Definisi sikap menurut Allport dalam Setiadi (2003) adalah suatu mental dan syaraf sehubungan dengan kesiapan untuk menanggapi, diorganisasi melalui pengalaman dan memiliki pengaruh yang mengarahkan dan atau dinamis terhadap perilaku. Definisi yang dikemukakan oleh Allport tersebut mengandung makna bahwa sikap adalah mempelajari kecenderungan memberikan tanggapan terhadap suatu obyek baik disenangi ataupun tidak disenangi secara konsisten. Engel dalam Suwito (2007:25) membagi sikap menjadi tiga komponen sebagai berikut:<br />
a). Kognitif<br /> Kognitif berhubungan dengan pengenalan dan pengetahuan obyek beserta atributnya.<br /> b). Afektif<br /> Afektif memberikan tanggapan tentang perasaan terhadap obyek dan atributnya.<br /> c). Konasi<br /> Dalam konasi seorang memiliki minat dan tindakan dalam sebuah perilaku.<br />
<br />
Engel dalam Suwito (2007:26) menjabarkan dimensi sikap sebagai berikut:<br /> 1. Valance<br /> Mengaju pada sikap positif , sikap negatif, atau netral.<br /> 2. Extermity<br /> Keekstriman merupakan intensitas kesukaan dan ketidak sukaan.<br /> 3. Resistance<br /> Tingkat dimana sikap kebal terhadap perubahan.<br /> 4. Persistence<br /> Merefleksikan bahwa sikap dapat berubah secara perlahan-lahan /gradual.<br /> 5. Confidence<br /> Tidak semua sikap berada pada tingkat keyakinan yang sama<br />
<br />
<br />
b. Sikap terhadap Merek<br /> Sikap terhadap merek menurut Assael (2001: 282) adalah kecenderungan yang dipelajari oleh konsumen untuk mengevaluasi merek dengan cara mendukung (positif) atau tidak mendukung (negatif) secara konsisten. Evaluasi konsumen terhadap merek tertentu ini di mulai dari sangat jelek sampai sangat bagus. Sikap terhadap merek didasarkan pada skema tentang merek tersebut yang telah tertanam dibenak konsumen. <br />
Merek bukanlah sekedar nama yang menempel pada suatu produk. Beragamnya produk dan derasnya arus informasi, mengakibatkan merek menjadi hal pertama yang diingat oleh konsumen. Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk menanamkan merek produk dalam benak konsumen, sehingga mereka akan menjadi loyal pada merek tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui penciptaan proporsi nilai yaitu dengan memberi nilai tambah bagi suatu produk. Akibatnya, akan mempengaruhi rasa suka atau tidak suka terhadap merek suatu produk (Aaker dan Myers, 1991)<br />
Variable sikap terhadap merek diukur dengan menggunakan dimensi sikap terhadap merek (Assael, 2001:82) yaitu tentang pernyataan mental penerima pesan yang menilai positif atau negative, bagus-tidak bagus, suka-tidak suka, berkualitas-tidak berkualitas suatu produk.<br />
Apabila seorang konsumen memiliki sikap yang positif terhadap produk atau jasa yang dijual, maka perusahaan mempertahankan sikap positif tersebut. Tetapi bila konsumen memiliki sikap yang negatif maka perusahaan perlu mengetahui sebab-sebabnya dan berusaha untuk mengubahnya agar konsumen tersebut memiliki sikap positif.<br />
<br />
<br />
Daftar Pustaka <br />
<br />
Afzal, Hasan, Muhammad Aslam Khan, Kashif ur Rehman, Imran Ali, Sobia Wajahat. 2010. Consumer’s Trust in the Brand: Can it Be Built through Brand Reputation, Brand Competence and Brand Predictability. International Business Research Vol 3 No. 1 Januari 2010 <br /><br />Nasution, Reza dan Widjadjayanto, Angela. 2007. Proses pembentukan kepercayaan konsumen: Studi kasus pada sebuah usaha kecil menengah percetakan digital di Bandung. Jurnal Manajemen Teknologi Volume 6 No. 2 2007 hal 93-113.<br /><br />Yohana Ari R. 2007. Trust In A Brand dan Hubungannya dengan Loyalitas merek pada Hanphone Nokia. Jurnal Ekobis Volume 8, No. 1, Januari 2007.<br /><br />Riana, Gede. 2008. Pengaruh Trust In A Brand Terhadap Brand Loyalty Pada Konsumen Air Minum Aqua Di Kota Denpasar. Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana, Denpasar. Buletin Studi Ekonomi Volume 13 Nomor 2 Tahun 2008<br /><br />Tjahyadi, Rully Arlan. 2006. Brand Trust Dalam Konteks Loyalitas Merek: Peran Karakteristik Merek, Karakteristik Perusahaan, Dan Karakteristik Hubungan Pelanggan-Merek. Jurnal Manajemen, Vol. 6, No. 1, Nov 2006<br />
<br />
<br />
<i>Team Smart </i><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br /> <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br /><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br /><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br /><span class="fullpost"></span>
<br /><span class="fullpost"></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-3412796907948864972015-01-13T10:42:00.001+07:002015-01-13T10:42:34.764+07:00HAM<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Secara definitif hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Hak merupakan kata yang tidak asing bagi umat manusia di seluruh dunia, karena hak merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hak telah terpatri sejak manusia lahir dan melekat pada siapa saja. Diantaranya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak universal yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena posisinya sebagai manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Hal ini menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa hal itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Piagam PBB Tahun 1948 Pasal 1 Deklarasi HAM sedunia menyebutkan bahwa seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan. Deklarasi PBB memberikan penjelasan seperangkat hak-hak dasar manusia yang tidak boleh dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia. HAM juga berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Atau ada juga yang mengatakan HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki atau pun perempuan. Hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Louis Henkin mengatakan ”…human rights are claims asserted recognized “as of right” not claims upon love, or grace, or brotherhood or charity: one does or have to earn or deserve them. They are not merely aspirations or moral assertions but, increasingly, legal claims under some applicable law”. </span><br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ahli teori politik serta penulis Amerika di dalam bukunya yang berjudul Right of Man pada tahun 1972 mengemukakan pengertian HAM, adalah hak-hak yang dimiliki oleh seseorang karena keberadaannya, di antara hak-hak jenis ini tercakup segala hak intelektual, atau hak berfikir, dan juga segala hak untuk bertindak, sebagai individu demi kenyamanannya sendiri dan kebahagiaannya sendiri, asalkan tidak merugikan hak-hak asasi orang-orang lain. </span><br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Berdasar uraian tentang konsepsi HAM yang telah tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri HAM sebagai berikut: <br />1. Hak tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis. <br />2. Hak asasi berlaku dan dimiliki untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, atau asal usul sosial, bangsa. Semua manusia lahir dengan martabat yang sama. <br />3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain, orang tetap mempunyai HAM, walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggarnya.</span><br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Daftar Pustaka </span><br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Tim ICCE, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, Tim ICCE UIN Jakarta. Kutipan aslinya dapat dilihat dalam James W. Nickel, 1996, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Titi S. Dan Eddy Arini (alih Bahasa), Gramedia, Jakarta</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">James W. Nickel,1996, Making Sense of Human Rights Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human.<br />Rights, Alih Bahasa: Titi S. dan Eddy Arini, Gramedia, Jakarta. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">T. Mulya Lubis, 1987, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan LBHI, Jakarta.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">A. Gunawan Setiardja, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsipprinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">George Clark dan Kathleen Hug, Hak Asasi.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Tim ICCE, 2003, Kutipan aslinya dapat dilihat dalam Mansour Fakih, et.al, 2003, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Insist, Yogyakarta.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Mansoor Faqih dkk, 1999, Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat, Insist, Yogyakarta.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia-7.716165 110.33540300000004-33.2381995 69.026809000000043 17.8058695 151.64399700000004tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-7408563978352909072014-11-10T10:24:00.000+07:002014-11-10T10:24:05.257+07:00Penegakan Hukum Yang Berkeadilan<div style="text-align: justify;">
<br />
<span class="fullpost"></span>
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum <i>(Rechtssicherheit)</i>, kemanfaatan <i>(Zweckmassigkeit)</i> dan keadilan <i>(Gerechtigkeit).</i><br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang : <i>fiat justitia et pereat mundus</i> (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.<br />
<br />
Unsur yang ke tiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus dihukum : setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyama-ratakan, adil bagi Si Doni belum tentu dirasakan adil bagi si Dani.<br />
<br />
Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja. maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya.<br />
<br />
Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat : <i>lex dura, sed tamen scripta</i> (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya). tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.<br />
<br />
Menurut tatanan UUD'45, untuk menjamin penegakan hukum yang berkeadilan, terdapat berbagai sendi konstitusional, yaitu: <br />
1. Sendi negara berdasarkan konstitusi (sistem konstitusional) dan negara berdasarkan atas hukum <i>(de rechtsstaat).</i><br />
2. Sendi Kerakyatan atau Demokrasi<br />
3. Sendi kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia<br />
4. Sendi penyelenggaraan pemerintahan menurut alas-asas penyelenggaraan pemerintah yang baik<br />
<br />
<br />
Referensi<br />
Sudikno Mertokusumo, 2000, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-646613492230999172014-09-18T18:58:00.000+07:002014-09-18T18:58:17.911+07:00 Kredit Bank<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"><br /><br /> Kredit berasal dari bahasa Romawi<i> “credere”</i> yang berarti percaya, oleh karena itu dasar dari kredit adalah adanya kepercayaan. Pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatunya yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi dan kontraprestasinya. Kondisi dasar seperti ini diperlukan oleh Bank, karena dana yang ada di Bank sebagian besar adalah milik pihak ketiga. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan oleh bank dalam penggunaan dana tersebut didalamnya untuk menentukan pemberian kredit. <br /> Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka II Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menentukan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam, untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat adanya suatu kontraprestasi yang akan diterima oleh kreditur pada masa yang akan datang berupa sejumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan, dengan demikian maka jelas tergambar bahwa kredit dalam arti ekonomi adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang, maupun jasa.<br /><br /> Pengertian kredit tersebut memberikan konsekuensi bagi Bank dan peminjam mengenai hal-hal berikut : <br />1. Penyediaan uang atau yang dapat dipersamakan dengan itu<br />2. Kewajiban pengambilan kredit<br />3. Jangka waktu pengembalian<br />4. Pembayaran bunga, imbalan atau bagi hasil<br />5. Perjanjian kredit<br /><br /> Di samping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, “UU Perbankan” tersebut ternyata kredit ini berdasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain, dalam hal ini adalah nasabah peminjam dana. Persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam ini diatur dalam pasal 1754 KUH Perdata yang menyatakan :<br />“Perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”<br /><br /> Dalam hal pinjam meminjam uang, utang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika, sebelum saat pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjam menurut Pasal 1756 KUH Perdata harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu. jadi dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang terutang, harus berpangkal pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian. <br /><br /> Dalam bukunya Dasar - Dasar Perkreditan menurut Thomas Suyatno dkk, bahwa unsur - unsur yang terdapat dalam kredit adalah : <br />1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang<br />2. Tenggang Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai Agio dari uang, yaitu uang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.<br />3. Degree of Risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima semakin tinggi pula tingkat risikonya, sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos masa depan, maka masih selalu terdapat unsur ketidakpastian yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan munculnya risiko dan dengan adanya unsur risiko inilah maka kemudian timbul jaminan dalam pemberian kredit.<br />4. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uang yang sering dijumpai dalam praktek.<br /><br />Pihak bank melakukan penilaian dan analisis dengan Konsep <i>Five C’s of Credit</i> atau Konsep 5C, yaitu : <br />a. <i>Character</i> atau Watak<br />Penilaian terhadap watak nasabah perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana iktikad baik dan kejujuran. Calon nasabah peminjam dana untuk membayar kembali kredit yang telah diterimanya. Oleh karena itu penilaian watak debitur dimaksudkan untuk menilai willingness to pay atau kemampuan untuk membayar. Penilaian tersebut meliputi pula moral, sifat-sifat, dan kehidupan pribadinya serta <br />perilakunya dan tanggung jawab debitur. Hal ini sangat penting karena faktor-faktor ini akan berpengaruh terhadap pelunasan kredit.<br />b. <i>Capacity </i>atau Kemampuan<br />Penilaian terhadap kemampuan debitur dilakukan untuk mengetahui sejauhmana kemampuan debitur mengembalikan pokok pinjaman serta bunganya. Penilaian ini dilakukan dengan melihat kegiatan atas usaha yang akan dibiayai melalui kredit.<br />c. <i>Capital</i> atau Modal<br />Bank dalam melakukan penilaian atas jumlah modal yang dimiliki debitur yang perlu diperhatikan adalah apakah debitur memiliki modal yang cukup dalam menjalankan usahanya.<br />d. <i>Collateral </i>atau Jaminan<br />Penilaian terhadap barang jaminan yang diserahkan debitur sebagai jaminan atas kredit yang diperolehnya adalah untuk mengetahui sejauhmana nilai barang jaminan atau agunan tersebut dapat menutupi risiko kegagalan pengembalian kewajiban-kewajiban debitur. Fungsi jaminan disini adalah sebagai alat pengaman terhadap kemungkinan tidak mampunya debitur melunasi kredit yang diterimanya.<br />e. <i>Condition</i> atau Kondisi Prospek Usaha<br />Penilaian terhadap kondisi prospek usaha ini adalah untuk mengetahui apakah usaha yang akan dibiayai melalui kredit tersebut mempunyai prospek yang bagus atau tidak.<br /><br /><br />Referensi<br /><br /> Dahlan Siamat,1995, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta, Intermedia<br /> Muhammad Djumhana, 1996, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti<br /> Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni<br /> Thomas Suyatno, 1992, Dasar-dasar Perkreditan, Jakarta, Gramedia<br /><br /><br /> Team SMART</span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-4931099394040197092014-08-13T08:10:00.000+07:002014-08-13T08:10:14.214+07:00Lembaga Keuangan/Bank Syariah<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Bank syariah pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, waktu itu dinamakan dengan bank berdasarkan prinsip bagi hasil atau bank bagi hasil. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah itu sendiri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yaitu disebutkan bahwa :</span><br />
<span class="fullpost"> Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menghimpun dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina).</span><br />
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost">Menurut ensiklopedia Islam, pengertian bank yaitu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Dalam hal ini bank syariah beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga. Berdasarkan rumusan tersebut di atas bank syariah berarti bank yang tata cara pengoperasiannya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam yakni mengacu pada ketentuan Al-Qur’an dan Hadits.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Langkah berpijaknya bank syariah adalah menjalankan bisnis yang saling menguntungkan tanpa riba, dengan latar belakang keagamaan yang berlandaskan kepada firman Allah SWT. Di mana dapat dikatakan bahwa sekian banyak sistem yang kita hadapi saat ini, tidak terlepas dari kegiatan bank konvensional dengan berbaurnya unsur riba. Dan di sisi lain riba adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa Islam mengharamkan segala praktek transaksi yang saling merugikan termasuk praktek riba. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil….” (QS Annisaa’ : 29)</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Disinilah letak landasan yang mendasari prinsip keuangan syariah.<br />Bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah seperti halnya bank konvensional, juga berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi <i>(intermediary institution),</i> yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Bedanya hanyalah bahwa bank syariah melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga, akan tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian <i>(profit and loss sharing principle atau PLS principle)</i> . </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dengan disetujuinya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dimana didalam undang-undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. <br /><br /> </span><br />
<span class="fullpost">Referensi<br />Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta<br />M. Syafi’i Antomio, 1999, Bank Syariah bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Tazkia Institute </span><br />
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost"><i>Team SMART </i></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost"><br /><br />
</span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-70849677910827051072014-04-01T06:15:00.000+07:002014-04-01T06:15:20.573+07:00Peraturan Perundang Undangan<div style="text-align: justify;">
<br />
<br />
Peraturan adalah merupakan hukum yang in<i> abstracto atau generate norm</i> yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum <i>(generale).</i> Secara teoritik, istilah “perundang-undangan” <i>(legislation, wetgeving atau gesetgebung)</i> mempunyai dua pengertian, yaitu : pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah; kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berkenaan dengan perundang-undangan, A. Hamid S. Attamini mengatakan sebagai berikut :<br />
“Istilah perundang-undangan <i>(wettelijkeregels) </i>secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan Menteri yang berisi peraturan, Keputusa Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang dibentuk dengan undang-undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II dan Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II.<br />
<br />
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :<br />
1.Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas<br />
2.Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja<br />
3.Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumklan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. <br />
<br />
<br />
Daftar Pustaka<br />
<br />
A. Hamid S. Attamini, 1992, Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan, Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK Ke-46, Jakarta 17 Juni 1992. <br />
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta. <br />
SF. Marbun dan Moh. Mahfud, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. <br />
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-22721488565791440002013-12-08T05:22:00.001+07:002013-12-08T05:22:38.135+07:00 Politik Hukum<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tiada negara tanpa politik hukum. Politik hukum menurut Bagir Manan, ada yang bersifat tetap (permanen) ada yang temporer. Yang tetap, berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap antara lain: <br />1.Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia;<br />2.Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;<br />3.Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama.Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa;<br />4.Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat;<br />5.Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat;<br />6.Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat;<br />7.Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat) terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan atas hukum dan berkonstitusi.</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Politik hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori ini hal-hal sepeti penentuan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan kolonial, pembaharuan peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya.</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Politik hukum menurut Bagir Manan tidak terlepas dari kebijaksanaan di bidang lain. Penyusunan politik hukum harus diusahakan selalu seiring dengan aspek-aspek kebijaksanaan di bidang ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Namun demikian, setidak-tidaknya ada dua lingkup utama politik hukum. yaitu : <br />1.Politik pembentukan hukum; dan<br />2.Politik penegakan hukum </span><br />
<span style="font-size: small;">Politik pembentukan hukum ialah kebijaksanaan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan hukum. Politik pembentukan hukum mencakup: <br />1.Kebijaksanaan (pembentukan) perundang-undangan;<br />2.Kebijaksanaan (pembentukan) hukum yurisprudensi atau putusan hakim; dan<br />3.Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Politik penegakan hukum adalah kebijaksanaan yang bersangkutan dengan :<br />1.Kebijaksanaan di bidang peradilan; dan<br />2.Kebijaksanaan di bidang pelayanan hukum.</span><br />
<br />
Sedangkan politik hukum menurut Moh. Mahfud MD, adalah <i>legal policy</i> yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: - dengan mengutip Abdul Hakim Garuda Nusantara (1985) – pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.<br />
<br />
Moh. Mahfud MD memberikan pengertian tentang politik hukum HAM secara lebih spesifik yang diartikan sebagai kebijakan hukum (<i>legal policy</i>) tentang HAM yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yaitu kehidupan negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM, terutama yang dilakukan oleh penguasa. Dengan menyesuaikan pengertian Moh. Mahfud MD tadi, maka Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM diartikan sebagai kebijakan hukum tentang ratifikasi konvensi HAM yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana ratifikasi konvensi HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya ratifikasi konvensi HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik yakni kehidupan negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh penguasa. <br />
<br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
Referensi<br />
Bagir Manan, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah, dalam Martin Hutabarat (ed) 1996, Hukum dan Politik Indonesia : Tinjuan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.<br />
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.<br />
M. Afif Hasbulah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, Upaya Mewujudkan Masyarkat yang Demokratis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.<br />
<span class="fullpost"></span><br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
<i>TEAM SMART </i><br />
<br />
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span>
<span class="fullpost"></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-22265629916158221302013-09-16T05:20:00.001+07:002013-09-16T05:20:21.154+07:00Birokrasi<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Birokrasi digunakan pada awal abad ke 18 di Eropa Barat, birokrasi memiliki asal kata dari <i>Bureau</i> bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, misal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian digunakan segera setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke negara lain. Kata imbuhan <i>-kratia</i> berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan perkantoran ataupun kepemimpinan dari strata kepegawaian. </span><br />
<span class="fullpost"><br />Birokrasi merupakan instrumen penting yang berada dalam tubuh pemerintah dalam menjalankan macam fungsi pemerintahan. Meehan melihat birokrasi sebagai sekelompok orang yang terorganisisr, yang menjalankan tugas-tugas mereka menurut aturan dan prosedur yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan jabatan dan bukan orang. Sedangkan Bealey, mengatakan birokrasi memiliki dua pengertian yaitu<i> “either to describe a particular set of administration; or as a concept cannoting the values, attitudes, beliefs and behavior that normally characterize administrative</i> <i>apparatuses”</i>. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat beberapa konsep yang dapat dilihat dalam memaknai aktor yang bekerja di dalam birokrasi, seperti konsep tentang nilai, sikap, kepercayaan dan tingkah laku dari para aktor pendukung institusi yang disebut dengan birokrasi.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Birokrasi dipandang sebagai suatu institusi modern yang penting untuk dilihat dalam khazanah penyelenggaraan pelayanan publik <i>(public service</i>). Pentingnya posisi birokrasi karena berangkat dari pemaknaan mengenai birokrasi itu sendiri. Birokrasi sering dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat, akibatnya seringkali birokrasi semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang banyak.</span><br />
<span class="fullpost"><br />
</span><br />
<span class="fullpost">Pengertian birokrasi menurut Michael G. Roskin, et al. bagi mereka birokrasi adalah "setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan <i>(decision makers)</i>. Idealnya, birokrasi merupakan suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien. Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang bersifat tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggung jawab setiap bagian-bagiannya 'mengalir' dari 'atas' ke 'bawah.'</span><br />
<span class="fullpost"><br />
</span><br />
<span class="fullpost">Referensi<br /> Miftah Thoha, 2004, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.<br /> Deny B.C Harianja, 1999, Birokrasi Nan Pongah, Kanisius, Yogyakarta.<br /> Afadlal, 2003, Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah, Pusat Penelitian Politik LIPI.</span><br />
<br />
<br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Team Smart<br /><br />
</span><br />
<span class="fullpost"><br />
</span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-65499550938911940312013-05-27T05:55:00.000+07:002013-05-27T05:55:04.958+07:00Money Laundering<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"></span><span class="fullpost">Tahun 1930 ,masalah money laundering telah lama dikenal. Munculnya istilah money laundering erat kaitannya dengan </span><span class="fullpost">perusahaan laundry, yakni perusahaan pencucian pakaian-pakaian. Para mafia Amerika Serikat membeli perusahaan </span><span class="fullpost">pencucian pakaian atas hasil/dana yang diperolehnya dari berbagai usaha gelap (illegal), dan untuk selanjutnya dipergunakan </span><span class="fullpost">sebagai cara pemutihan uang dari hasil transaksi ilegal berupa pelacuran, minuman keras atau perjudian. </span><br />
<br />
Kemudian istilah money laundering ini populer pada tahun 1984 tatkala Interpol mengusut pemutihan uang mafia Amerika Serikat yang terkenal dengan Pizza Connection. Kasus demikian menyangkut dana sekitar US $ 600 juta, yang ditransfer ke sejumlah bank di Swiss dan Italia. Cara pencucian uang dilakukan dengan menggunakan restoran-restoran pizza yang berada di Amerika Serikat sebagai sarana usaha untuk mengelabui sumber-sumber dana tersebut.<br />
<br />
Cara pencucian uang atau pemutihan dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit gunanya menyulitkan berbagai pihak untuk mengetahui asal usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling disukai karena kerumitannya dan daya jangkauannya menembus batas-batas yurisdiksi. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pakar money laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang.<br />
<br />
Didalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 memberikan definisi mengenai pencucian uang dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi sebagai berikut :<br />
Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga (seharusnya “patut diduganya”, penulis) merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.<br />
<br />
Sutan Remy Sjahdaeni , money laundering atau pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (<i>financial system</i>) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.<br />
<br />
Modus money laundering dapat diuraikan antara lain sebagai berikut :<br />
<ol>
<li>Melalui <i>tax evasion</i> atau pengelakan pajak. Dengan cara ini seseorang memperoleh uang dengan cara legal, tetapi kemudian melaporkan jumlah keuangan tidak sebenarnya supaya didapatkan perhitungan pajak yang lebih sedikit dari yang sebenarnya. </li>
<li>Melalui cara yang jelas-jelas melanggar hukum. Cara kedua ini banyak sekali jenisnya sesuai dengan ragamnya teknik-teknik kriminal untuk memperoleh uang. </li>
</ol>
Ragam kriminalnya dapat disebut yaitu:<br />
<ol>
<li>Perdagangan narkotika dan obat-obatan (narkoba) secara gelap (<i>drug trafficking</i>)</li>
<li>Perjudian gelap (<i>illegal gambling</i>)</li>
<li>Penyelundupan minuman keras, tembakau dan pornografi (<i>smuggling of contraband alcohol, tobacco, pronography).</i></li>
<li>Penyuapan (<i>bribery)</i></li>
<li>Pelacuran (<i>prostitution</i>)</li>
<li>Perdagangan senjata <i>(arms trafficking</i>)</li>
<li>Terorisme (<i>terrorism</i>)</li>
<li>Penyelundupan imigran gelap (<i>people smuggling</i>)</li>
<li>Kejahatan kerah putih (<i>white collar crime)</i>.</li>
</ol>
Untuk membuktikan adanya money laundering tidaklah mudah karena kegiatannya yang sangat kompleks sekali.Dan para pakar telah berhasil menggolongkan money laudering dalam tiga tahap ,yaitu : <br />
1. Tahap Penempatan ( <i>Placement</i>)<br />
2. Tahap Pelapisan ( <i>Layering </i>)<br />
3. Tahap Penyatuan (<i> Integration</i> ).<br />
<br />
<br />
Referensi<br />
1. Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004. <br />
2. AS. Mahmoedin, Analisis Kejahatan Perbankan, Rafflesia, Jakarta, 1997. <br />
3. Rijanto, Efektifkah Pencucian Uang, Bisnis Indonesia. <br />
4. N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. <br />
<br />
<br />
<br />
Team <i>SMART</i><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br /></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-70783220274848781062013-04-14T20:43:00.000+07:002013-04-14T20:43:21.393+07:00PTK<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Kedisiplinan dan Tindakan Korektif (di kelas )</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Pendapat Sri Esti Wuryani Djiwandono (2002:303) bahwa untuk menciptakan kedisiplinan di kelas ada tiga langkah yaitu perencanaan, mengajarkan siswa bagaimana mengikuti aturan, dan merespon secara tepat dan konstruktif ketika masalah timbul. Perencanaan meliputi membuat aturan dan prosedurnya serta menentukan konsekuensi untuk aturan yang dilanggar. Selanjutnya menanamkan aturan pada diri siswa dan langkah yang terakhir bagaimana guru menyikapi secara bijak jika ada pelanggaran disiplin di kelas.</span><br />
<br />
Dalam kegiatan menegakkan disiplin kelas, tindakan tepat dan segera sangat diperlukan. Dimensi tindakan merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan guru bila terjadi masalah pelanggaran disiplin. Guru yang bersangkutan dituntut untuk berbuat sesuatu dalam menghentikan perbuatan siswa setepat mungkin. Guru harus segera mengingatkan siswa terhadap peraturan tata tertib (yang dibuat dan diterapkan bersarna) dan konsekuensinya, kemudian melaksanakan sanksi yang seharusnya berlaku. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memonitor efektivitas aturan tata tertib. Setelah jangka waktu tertentu guru bersama-sama murid dapat meninjau kembali aturan sekolah tersebut untuk dimodifikasi dan diperbaiki.<br />
<br />
Implementasi disiplin dikembangkan melalui dua bentuk yaitu disiplin preventif dan disiplin korektif. Disiplin preventif yaitu upaya mencegah atau menggerakkan siswa mengikuti dan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan hal ini pula siswa dapat berdisiplin dan mematuhi aturan yang berlaku. Disiplin korektif, adalah upaya mengarahkan siswa untuk tetap mematuhi peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi dengan tujuan memberi pelajaran agar selalu mengikuti aturan yang ada. <br />
<br />
Hollingsworth dan Hoower (1991: 72-74): mengemukakan beberapa bentuk gangguan disiplin siswa dan petunjuk umum cara penanggulangannya adalah sebagai berikut :<br />
1). Gangguan percakapan <br />
2). Gangguan melempar catatan<br />
3). Gangguan kebebasan yang berlebihan di antara siswa<br />
4). Gangguan permusuhan diantara peserta didik atau kelompok<br />
5). Gangguan menyontek<br />
6). Gangguan pengaduan <br />
7). Gangguan tabiat marah<br />
8). Gangguan penolakan permohonan guru <br />
9). Gangguan perpindahan situasi<br />
<br />
<br />
Cara melakukan dimensi tindakan korektif untuk menerapkan disiplin kelas, salah satunya yaitu dengan cara menetapkan peraturan dan konsekuensinya. Bila ada siswa yang melanggar peraturan tata tertib sekolah, komunikasikan kembali apa aturan yang dilanggarnya secara jelas dan kemukakan akibatnya bila peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama itu dilanggar. Konsekuensi itu dilakukan secara bertahap dimulai dari peringatan, teguran, memberi tanda cek, disuruh menghadap kepala sekolah dan atau dilaporkan kepada orang tuanya tentang pelanggaran yang dilakukannya di sekolah. Bila ada tindakan siswa yang menggangu suasana proses belajar mengajar segera hentikan gangguan tersebut, kemudian usahakan memahami alasan mengapa siswa tersebut bertindak demikian. Kemukakan kepadanya harapan kita sebagai guru dan teman-teman lain yang akan terganggu konsentrasinya dan nyatakan tingkah laku bagaimana yang diharapkan dari siswa yang bersangkutan. Tindakan guru hendaknya cukup tegas dan berwibawa dan hendaknya hindarkan hal-hal yang menyebabkan siswa mendapat malu di depan teman- temannya. <br />
<br />
<br />
Referensi<br />
<br />
Hollingsworth, Paul M clan Hooper, Kenneth H. 1991. Elementary Teaching Methods. Boston: Allyn and Bacon. <br />
<br />
<br />
Team Smart <br />
<br />
<br /></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-38277530374166360842013-01-07T19:00:00.000+07:002013-01-07T19:00:12.434+07:00Hukum Pidana Islam<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Haliman dalam desertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syariat Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.<br /><br />Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan pada berat ringannya hukuman, yaitu jinayah, janhah dan mukhalafah.Jinayah di sini adalah jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras atau penjara seumur hidup (Pasal 10 KUHP RPA). Sedangkan janhah adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 11 KUHP RPA). Adapun mukhalafah adalah jenis pelanggaran ringan yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu (Pasal 12 KUHP RPA). *1<br /><br />Dalam bahasa Indonesia pengertian jinayah sering disebut dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Istilah jinayah atau jarimah sering pula digunakan oleh para fuqaha. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. <br /><br />Hukuman had adalah suatu sanksi yang ketentuannya sudah dipastikan oleh nas. Adapun hukuman ta’zir adalah hukuman yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukum ta’zir dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana, situasi dan kondisi masyarakat, serta tuntutan kepentingan umum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir diterapkan tidak secara definitif, melainkan melihat situasi dan kondisi, bagaimana perbuatan jarimah terjadi, kapan waktunya, siapa korbannya dan sanksi apa yang pantas dikenakan demi menjamin ketentraman dan kemaslahatan umat. *2<br /><br />Jadi definisi jarimah yaitu larangan-larangan syara yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut berkaitan dengan sikap berbuat atau tidak berbuat. Sikap berbuat yang dianggap sebagai suatu tindak pidana, misalkan Al-Qur’an melarang membunuh, dan bila seseorang melakukan pembunuhan maka tindakan orang tersebut dianggap melakukan tindak pidana dengan sikap berbuat. Al-Qur’an melarang berzina, maka zina dianggap pelanggaran hukum. Adapun contoh tidak berbuat yang dapat dianggap sebagai tindak pidana adalah tidak memberi makan kepada orang yang ditahan.<br /><br />Bahwa suatu perbuatan dianggap delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) : pertama, rukun umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.<br /><br />Yang termasuk unsur-unsur umum jarimah adalah sebagai berikut :<br />1. Unsur formil (adanya undang-undang atau nas). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakuny tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang mengaturnya. Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan istilah asas legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkannya. Dalam syariat Islam lebih dikenal dengan istilah ar- rukn asy-syari’i. Kaidah yang mendukung unsur ini adalah “tidak ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nas”. Kaidah lain menyebutkan “tiada hukuman bagi perbuatan mukalaf sebelum adanya ketentuan nas”.<br />2. Unsur materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam disebut dengan ar-rukn al-madi.<br />3. Unsur moril (pelakunya mukalaf). Artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syariat Islam unsur moril disebut dengan ar-rukn al-adabi. Haliman dalam desertasinya menambahkan, bahwa orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila, bukan anak-anak dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan diri. *3<br /><br />Unsur-unsur umum di atas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalan hukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi *4<br /><br />Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir.<br />1. Jarimah Hudud yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu : (a) zina, (b) qazf (menuduh zina), (c) pencurian, (d) perampokan atau penyamunan (hirabah), (e) pemberontakan (al-bagby), (f) minum-minuman keras, dan (g) niddah (murtad). <br />2. Jarimah Qisas Diyat yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Baik hukuman gisas maupun diyat merupakan hukuman yang ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Hukum qisas diyat penerapannya ada beberapa kemungkinan, seperti hukum qisas bisa berubah menjadi diyat, hukuman diyat menjadi dimaafkan dan apabila dimaafkan maka hukuman menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat: (a) pembunuhan sengaja (al-qati al-amd), (b) pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd), (c) pembunuhan keliru (al-qatl al-khata), (d) penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd), (e) penganiayaan salah (al-jarh al-khata).<br />3. Jarimah Ta’zir, yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukum ta’zir yaitu hukuman selain had dan qisas diyat.*5 Pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.*6 <br /><br /><br /><br />
Referensi</span><br />
<span class="fullpost">*1 Ahmad Hanfi,1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam , Bulan Bintang, Jakarta, hlm 2.</span><br />
<span class="fullpost">*2 Abd al-Wahab Khalaf, 1998, Ilmu Ushul al-Fiqh, Dar al Qalam, Mesir, hlm.198.</span><br />
<span class="fullpost">*3 Haliman, 1968, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunah wal-Jamaah, Bulan Bintang, Jakarta., hlm. 48.</span><br />
<span class="fullpost">*4. Ahmad Hanafi , Op, Cit, hlm.36.</span><br />
<span class="fullpost">*5 Marsum, 1998, Jarimah Ta'zir, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm 2.</span><br />
<span class="fullpost">*6 Ahmad Hanafi, Op,Cit, hlm 47.</span><br />
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost"><br /></span>
<span class="fullpost">Team Smart Consultant</span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-33091277254097690832012-12-13T06:17:00.000+07:002012-12-13T06:20:47.876+07:00Analisis korelasi<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span class="fullpost">Teknik analisis korelasi digunakan untuk mengetahui adanya hubungan suatu kejadian atau variabel yang lain. Variabel yang dianalisis dalam korelasi terdiri dari variabel bebas ( independent variable = X ) dan variabel terikat ( dependent variable = Y ). Dalam analisis korelasi ini akan menghasilkan ukuran yang disebut dengan koefisien korelasi yang disimbolkan r ( rho). Koefisien korelasi ini menunjukkan seberapa kuat hubungan antar variabel. Nilai koefisien korelasi ini berada pada kisaran angka minus satu (-1) sampai plus 1 (+1). Koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan yang terbalik , dimana pengaruh yang terjadi adalah pengaruh negatif yaitu kenaikan suatu variabel akan menyebabkan penurunan suatu variabel dan sebaliknya. Koefisien positif menunjukkan hubungan searah dari dua variabel , dimana kenaikan suatu variabel akan menyebabkan kenaikan variabel yang lain dan sebaliknya penurunan suatu variabel akan menyebabkan penurunan pada variabel yang lain. Koefisien sebesar nol menunjukkan tidak adanya hubungan antara dua variabel. Dimana kenaikan atau penurunan suatu variabel tidak akan mempengaruhi variabel yang lain. <br /><br /><br />Referensi<br />Suwardie, 2010. <i>Kajian Aplikasi SPSS Pengolahan Data Sosial Ekonomi.</i> Yogyakarta.Penerbit Kepel Press<br />Santosa, Purbaya Budi dan Ashari, 2005. <i>Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS.</i> Yogyakarta. Penerbit ANDI <br /><br /><br />
</span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-10640787462041137962012-11-05T06:12:00.001+07:002012-11-05T06:18:55.407+07:00Corporate Governance<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"> Pada dasarnya prinsip corporate governance meliputi empat komponen utama yang diperlukan untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang saham tanpa mengembangkan kepentingan stakeholder yaitu fairness, transparency, accountability dan responsibility (Sulistyanto, 2008). Fairness atau keadilan merupakan perlindungan terhadap hak seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas (minority stakeholder), untuk memperoleh informasi secara tepat waktu dan teratur, memberikan suara dalam rapat pemegang saham, memilih direksi dan komisaris dan pembagian laba perusahaan. Selain itu keadilan juga menekankan pentingnya perlindungan untuk pemegang saham dari berbagai penyimpangan orang dalam perusahaan, misalnya praktek insider trading, self-dealing, keputusan manajer lain yang merugikan kepentingan seluruh pemegang saham dan konflik dalam menetapkan peran dan tanggung jawab dewan komisaris, manajer (direksi) dan komite termasuk sistem remunerasi , menyajikan dan mengungkapkan informasi secara wajar.</span><br />
<span class="fullpost"> Transparansi atau transparency merupakan pengungkapan (disclosure) setiap kebijakan atau aturan yang akan diterapkan perusahaan, sebab kepercayaan investor dan efisiensi pasar sangat tergantung dari pengungkapan kinerja perusahaan secara adil, akurat dan tepat waktu. Ada beberapa hal yang harus dilakukan perusahaan untuk mewujudkan prinsip ini, yaitu:</span><br />
<span class="fullpost">a. Mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis standar akuntansi yang diterima secara umum dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas.</span><br />
<span class="fullpost">b. Mengembangkan teknologi informasi (information tecnology) dan sistem informasi manajemen (managemet information system) untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh komisaris dan manajer.</span><br />
<span class="fullpost">c. Mengembangkan manajemen resiko korporasi (enterprise risk management) untuk memastikan bahwa semua resiko telah diidentifikasi, diukur, dan dapa dikelola pada tingkat yang jelas.</span><br />
<span class="fullpost">d. Mengumumkan jabatan yang kosong agar setiap pihak mengetahuinya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pengangkatan pejabat perusahaan dengan cara-cara yang kolutif atau nepotisme.</span><br />
<span class="fullpost">Accountability atau akuntabilitas didasarkan pada sistem internal checks and balances yang mencakup praktik audit yang sehat dan dicapai melalui pengawasan yang efektif yang didasarkan pada keseimbangan kewenangan antara pemegang saham, komisaris, manajer dan auditor. Ada beberapa hal yang harus dilakukan perusahaan untuk mewujudkan prinsip ini, yaitu:</span><br />
<span class="fullpost">a. Perusahaan dituntut untuk menyiapkan laporan keuangan pada waktu dan cara yang tepat.</span><br />
<span class="fullpost">b. Perusahaan harus mengembangkan komite audit dan resiko untuk mendukung fungsi pengawasan yang dijalankan oleh dewan komisaris.</span><br />
<span class="fullpost">c. Perusahaan harus mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi auditor internal sebagai mitra bisnis strategis berdasarkan best practices.</span><br />
<span class="fullpost">d. Perusahaan harus menjaga manajemen kontrak yang bertanggung jawab dan menangani pertentangan.</span><br />
<span class="fullpost">e. Perusahaan harus menggunakan jasa auditor eksternal yang profesional.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"> Responsibility atau resposibilitas merupakan tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi hukum dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk ketentuan mengenai lingkungan hidup, perlindungan konsumen, perpajakan, ketenagakerjaan, larangan monopoli dan praktik persaingan yang tidak sehat, kesehatan dan keselamatan kerja dan peraturan lain yang mengatur kehidupan perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahanya.</span><br />
<br />
<br />
<span class="fullpost">Referensi </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Boediono,G.SB.2005. Kualitas Laba : Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Simposium Nasional Akuntansi 8, Solo, 15-16 September 2005.</span><br />
<span class="fullpost">Sulistyanto,Sri.2008. Manajemen Laba Teori dan Model Empiris, P.T. Grasindo, Jakarta.</span><br />
<br />
<br />
<span class="fullpost">Team Smart </span><br />
<span class="fullpost"><br /><br />
</span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-15173582746488059832012-10-01T05:40:00.000+07:002012-10-01T05:40:10.633+07:00Karakteristik Tindakan Hukum<div style="text-align: justify;">
Karakteristik Tindakan Hukum Pemerintahan.<br />
<br />
Di kalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat mengenai sifat tindakan hukum pemerintahan ini. Sebagian menyatakan bahwa perbuatan hukum yang terjadi dalam lingkup hukum publik selalu bersifat sepihak atau hubungan hukum bersegi satu (eenzijdige). Bagi mereka tidak ada perbuatan hukum publik bersegi dua, tidak ada perjanjian yang diatur oleh hukum publik. Bilamana antara pemerintah dengan seorang partikelir diadakan suatu perjanjian, maka hukum yang mengatur perjanjian itu senantiasa hukum privat. Perjanjian itu suatu perbuatan hukum yang bersegi dua karena diadakan oleh dua kehendak (yang ditentukan dengan sukarela), yakni suatu persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) antara dua pihak. Sementara sebagian penulis lain menyatakan, ada perbuatan hukum pemerintahan bersegi dua (tweezijdige). Mereka mengakui adanya perjanjian yang diatur oleh hukum publik seperti kortverband contract atau perjanjian kerja yang berlaku selama jangka pendek.<br />
<br />
Meskipun dikenal adanya tindakan pemerintah yang bersegi dua, namun dari argumentasi masing-masing penulis tampak bahwa pada prinsipnya semua tindakan pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugas publik lebih merupakan tindakan sepihak atau bersegi satu. Indroharto bahkan menyebutkan bahwa tindakan hukum tata usaha negara itu selalu bersifat sepihak. Tindakan hukum tata usaha negara itu dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum tata usaha negara yang memiliki kekuatan hukum itu pada akhirnya tergantung kepada kehendak sepihak dari badan atau jabatan tata usaha negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian. <br />
<br />
Pada perjanjian kerja jangka pendek (kortverband contract), yang dijadikan contoh hubungan hukum dua pihak dalam hukum publik harus dianggap sebagai cara pelaksanaan tindakan pemerintahan bukan esensi dari tindakan hukum pemerintahan itu sendiri. Dengan kata lain, sebagaimana disebutkan W.F. Prins yang lebih lazim terjadi ialah pernyataan kehendak pemerintah dijadikan titik berat dalam pelaksanaannya, sedangkan kegiatan pihak yang bersangkutan, yang melahirkan awal usahanya, menjadi tergeser ke belakang, sekalipun kemudian ditentukan bahwa pihak yang bersangkutan harus menyetujui penawaran yang diberikan oleh pemerintah kepadanya. Demikian pula pada ijin usaha pertambangan dan konsesi pertambangan tidak dapat dikatakan bahwa pihak yang bersangkutan berkesempatan untuk terlebih dahulu menyatakan persetujuannya. Sebab ijin pengusahaan pertambangan dan konsesi pertambangan tersebut terjadinya justru karena keputusan pemerintah yang sifatnya sepihak dan berlaku seketika.<br />
<br />
Dalam suatu negara hukum setiap tindakan hukum pemerintahan selalu harus didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya tindakan hukum pemerintahan itu pada dasarnya adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dalam rangka mengatur dan melayani kepentingan umum yang dikristalisasikan dalam ketentuan undang-undang yang bersangkutan. Ketentuan undang-undang ini melahirkan kewenangan tertentu bagi pemerintah untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Karena kewenangan ini hanya diberikan kepada organ pemerintahan tertentu, tidak kepada pihak lain, maka tindakan hukum pemerintahan itu pada dasarnya bersifat sepihak, bukan hasil persetujuan dengan pihak yang dikenai tindakan hukum tersebut. Dalam hukum administrasi negara, hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari jabatan pemerintahan bukan dalam kapasitasnya selaku wakil dari bawan pemerintahan, dengan seseorang atau badan hukum perdata tidak berada dalam kedudukan yang sejajar. Pemerintah memiliki kedudukan khusus (de overheid als bijzonder persoon), sebagai satu-satunya pihak yang diserahi kewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum dimana dalam rangka melaksanakan kewajiban ini kepada pemerintah diberikan wewenang membuat peraturan perundang-undangan, menggunakan paksaan pemerintahan, atau menerapkan sanksi-sanksi hukum. <br />
<br />
Kedudukan pemerintah yang tidak dimiliki oleh seseorang atau badan hukum perdata ini menyebabkan hubungan hukum antara pemerintah dengan seorang atau badan hukum perdata bersifat ordinatif. Berbeda halnya dengan hubungan hukum berdasarkan hukum perdata, yang bertumpu pada asas otonomi dan kebebasan berkontrak. Hubungan hukum berdasarkan hukum perdata bersifat sejajar. Pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum pemerintahan, bukan sebagai wakil dari jabatan pemerintahan, dapat mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum perdata dengan kedudukan yang sejajar atau tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. Meskipun hubungan hukumnya bersifat ordinatif, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan hukum secara bebas dan semena-mena terhadap warga negara. Sebagaimana telah disebutkan, tindakan hukum pemerintah tetap terikat pada asas yang mendasari tindakan tersebut yaitu asas legalitas. Kalaupun kemudian dikenal adanya tindakan hukum dua pihak atau lebih, maka ini hanya menyangkut mengenai cara-cara merealisasikan tindakan hukum tersebut. Di atas disebutkan bahwa tindakan hukum dua pihak diatur dengan peraturan bersama. Kemunculan peraturan bersama pada hakekatnya hanyalah menyangkut cara untuk melaksanakan tugas dan urusan pemerintahan, yaitu ketika tugas dan urusan pemerintahan tertentu kebetulan ada kesamaan dengan organ pemerintahan lainnya atau karena ada tujuan agar pelaksanaan tugas dan urusan tersebut dapat terselenggara secara efektif dan efisien dengan cara dilaksanakan secara bersama-sama.<br />
<br />
Pada kenyataannya, tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan sendiri oleh organ pemerintahan yang diberi kewenangan untuk menjalankan tugas dan urusan tersebut, serta tidak semua tugas dan urusan pemerintahan dapat dijalankan secara bersama-sama dengan organ pemerintahan lainnya. Hal ini karena ruang lingkup urusan pemerintahan itu demikian luas dan komplek, sehingga untuk efektivitas dan efisiensi diperlukan pula keterlibatan pihak swasta, yang diwujudkan dengan cara kerja sama atau perjanjian. Tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan dengan melibatkan pihak swasta ini disebut sebagai tindakan hukum campuran (de gemengd rechtshandeling).<br />
<br />
Di samping dikenal karakteristik tindakan hukum pemerintahan yang bersifat sepihak, dikenal pula karakteristik tindakan hukum pemerintahan yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas. Karakteristik tindakan hukum demikian ini berkenaan dengan dasar bertindak yang dimiliki oleh organ pemerintahan, yaitu kewenangan (bevoegdheid). Kewenangan pemerintahan ini ada yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas.<br />
<br />
<br />
<br />
Referensi<br />
<br />
Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta<br />
<br />
<br />
<br />
team Smart Consultant<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span class="fullpost"></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-15737246706001490042012-09-08T19:58:00.001+07:002012-09-08T19:58:52.129+07:00<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Kepuasan kerja<br /><br />Kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini berarti bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal. Sebaliknya, seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau lebih aspek yang lainnya (Kreitner dan Angelo, 2005).<br /><br />Menurut Handoko (2001), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. <br /><br />Kepuasan kerja (Job Satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka (Davis dan Newstrom, 1989 dalam Amilin dan Dewi, 2008).<br /><br />Karyawan yang memiliki sikap perjuangan, pengabdian, disiplin, dan kemampuan profesional sangat mungkin mempunyai prestasi kerja dalam melaksanakan tugas sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna. Karyawan yang profesional dapat diartikan sebagai sebuah pandangan untuk selalu perpikir, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi, dan penuh dedikasi demi untuk keberhasilan pekerjaannya (Hamid, et al., 2003).<br /><br />Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan. <br /><br /><br />Aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja menurut Robbins ( 1993 ), yaitu :<br />1. Kerja yang secara mental menantang<br />2. Imbalan yang pantas<br />3. Kondisi kerja yang mendukung<br />4. Rekan kerja yang mendukung<br />5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan<br /><br />Dan menurut Schemerhorn (2000) mengidentifikasi lima aspek lagi yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu:<br />1. Pekerjaan itu sendiri ( work it self )<br />2. Penyelia (supervision )<br />3. Teman sekerja ( workers )<br />4. Promosi ( promotion )<br />5. Gaji/upah (pay )<br /><br /><br />Referensi<br /><br />Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogjakarta: BPFE Press.<br />Kreitner, Robert dan Kinicki, Angelo. 2005. Perilaku Organisasi (organizational Behavior) Edisi ke-5. Penterjemah: Erly Suandy. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.<br /><br />Team Smart<br /><br /></span></div>
tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-42961191233274246122012-07-02T05:38:00.000+07:002012-07-02T09:31:08.156+07:00Belajar<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"><b><span style="font-size: small;">Pembelajaran</span></b></span><br />
<span class="fullpost"><br /></span><br />
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) bahwa pembelajaran adalah berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang memberikan kepada orang lain supaya diketahui atau diturut. Sedangkan pembelajaran adalah suatu proses, cara menjadikan orang/mahluk hidup belajar. Dalam kamus pendidikan (1999) yang dimaksud dengan pembelajaran adalah penciptaan kondisi dan situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang efisien dan efektif bagi peserta didik.<br />
<br />
Menurut Syah (2008), proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya.<br />
<br />
Oleh karena belajar itu merupakan aktivitas yang berproses, sudah tentu didalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui fase-fase yang antara satu dengan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional. Menurut Jerome S. Bruner (Barlow, 1985) dalam Syah (2008) proses pembelajaran siswa menempuh tiga episode atau fase yaitu: 1) fase informasi (tahap penerimaan materi); 2) fase transformasi (tahap pengubahan materi); 3) fase evaluasi (tahap penilaian materi).<br />
<br />
Menurut Wittig (1981) dalam Syah (2008) setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan yaitu:<br />
1. Acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi). Pada tingkatan acquisition seorang siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respon terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Pada tahap ini terjadi pula asimilasi antara pemahaman dengan perilaku baru dalam keseluruhan perilakunya. Proses acquisition dalam belajar merupakan tahapan yang paling mendasar. Kegagalan pada tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap-tahap berikutnya. <br />
2. Storage (tahap penyimpanan informasi). Pada tingkatan storage, seorang siswa secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang diperoleh ketika menjalani proses acquisition. Peristiwa ini sudah tentu melibatkan fungsi short term dan long term memori. <br />
3. Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi). Pada tingkatan retrieval, seorang siswa akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya, misalnya ketika menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah. Proses retrieval pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan dalam memori berupa informasi, symbol, pemahaman, dan perilaku tertentu sebagai respons atas stimulus yang sedang dihadapi.<br />
<br />
<br />
Referensi<br />
Depdikbud Dirjen Dikti. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.<br />
Syah, M. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya<br />
<br />
<br />
Team Smart</div>tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-6739717735022234772012-05-14T04:17:00.002+07:002012-05-14T04:17:37.465+07:00<div style="text-align: justify;">
Macam Tindakan Hukum Pemerintahan</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Telah disebutkan bahwa pemerintah atau administrasi negara adalah subyek hukum yang mewakili dua institusi yaitu jabatan pemerintahan dan badan (lichaam) hukum pemerintahan, karena mewakili dua institusi maka dikenal ada dua macam tindakan hukum yaitu tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat. Di Negara Belanda, tindakan hukum pemerintahan dijelaskan sebagai berikut: <br /> Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya dapat dibedakan dalam tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat. Tindakan hukum publik berarti tindakan hukum yang dilakukan tersebut didasarkan pada hukum publik atau yaitu tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum publik, sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan.<br /><br />Kedudukan hukum pemerintah atau administrasi negara yang mewakili dua institusi, tampil dengan “twee petten” dan diatur dengan dua bidang hukum yang berbeda yaitu hukum publik dan hukum privat, akan melahirkan tindakan hukum dengan akibat-akibat hukum yang berbeda, yang di dalam praktek agak sukar dibedakan kapan tindakan hukum diatur oleh hukum publik dan kapan diatur dan tunduk pada hukum perdata, apalagi dengan adanya kenyataan sebagai akan ternyata di bawah bahwa tindakan hukum administrasi negara tidak selalu dilakukan oleh organ pemerintahan, tetapi juga oleh seseorang atau badan hukum perdata dengan persyaratan tertentu. Di samping itu, ada pula kesukaran lain dalam menentukan garis batas (scheidingslijn) tindakan pemerintah apakah bersifat publik atau privat, terutama sehubungan dengan adanya dua macam tindakan hukum publik, yaitu yang bersifat murni (de puur publiekrechtelijke), sebagai tindakan hukum yang dilaksanakan berdasarkan kewenangan publik dan bersifat campuran atau tidak murni antara hukum <br />publik dan hukum privat (de gemengd publiek en privaatrechtelijke). Oleh karena itu diperlakukan klarifikasi mengenai kapan tindakan hukum administrasi negara itu bersifat dan diatur oleh hukum perdata dan kapan diatur dan tunduk pada hukum publik.<br /><br />Secara teoretis, cara untuk menentukan apakah tindakan pemerintahan itu diatur oleh hukum privat atau hukum publik adalah dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakan tersebut. Jika pemerintah bertindak dalam kualitasnya sebagai pemerintah, maka hanya hukum publiklah yang berlaku, jika pemerintah bertindak tidak dalam kualitas pemerintah, maka hukum privatlah yang berlaku. Dengan kata lain, ketika pemerintah terlibat dalam pergaulan keperdataan dan bukan dalam kedudukannya sebagai pihak yang memelihara kepentingan umum, ia tidak berbeda dengan pihak swasta yaitu tunduk pada hukum privat. Cara lain adalah dengan melakukan pembedaan antara overheid sebagai pemegang kewenangan pemerintahan dengan lichaam sebagai badan hukum. Dalam kaitannya dengan daerah, diketahui bahwa daerah adalah badan hukum publik, yang di satu sisi sebagai overheid dan di sisi lain sebagai licham. Sebagai overheid, daerah melaksanakan kewenangan atau tugas-tugas pemerintahan yang diberikan dan diatur oleh ketentuan hukum publik. Sebagai licham, daerah adalah sebagai wakil dari badan hukum yang dapat bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada ketentuan hukum perdata. <br />Sebagai contoh ketika Kabupaten membeli beberapa mobil bus baru untuk kepentingan perusahaannya, Kabupaten melaksanakan perjanjian jual beli yang didasarkan pada hukum perdata. Disebutkan juga bahwa sebagaimana badan hukum privat, Kabupaten adalah pemikul hak dan kewajiban keperdataan, Kabupaten dapat melakukan berbagai tindakan hukum berdasarkan hukum perdata, ia dapat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum “biasa”. Apabila Kabupaten melakukan tindakan tersebut, secara prinsip kedudukannya sama dengan seseorang atau badan hukum. Dengan demikian, pemerintah (pemerintah daerah) dapat melakukan perbuatan atau tindakan hukum publik dan tindakan hukum keperdataan.<br /><br />Berkenaan dengan tindakan hukum publik dari organ pemerintahan ini, di Negara Belanda disebutkan sebagai berikut: <br /> Tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya, dapat dibedakan dalam tindakan hukum publik yang bersifat sepihak dan tindakan banyak pihak. Peraturan bersama antar Kabupaten atau antara Kabupaten dengan Provinsi adalah contoh dari tindakan hukum publik beberapa pihak. Tindakan hukum publik sepihak berbentuk tindakan yang dilakukan sendiri oleh organ pemerintahan yang menimbulkan akibat hukum publik, contohnya adalah pemberian izin bangunan dari Walikota, pemberian bantuan (subsidi), perintah pengosongan bangunan/rumah dan sebagainya.<br /><br /><br /><br />Referensi :<br /> Bagir Manan, 1996, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, No. 3, Vol. 14, hlm. 27-29<br /> N.E. Algra, et.al., 1983, Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu Untuk Pendidikan HUkum dalam Pengantar Ilmu Hukum, Binacipta, Jakarta, hlm. 173-174<br /> Ridwan HR, 2003, Op. Cit, hlm. 85<br /> Ridwan HR, 2003, Op. Cit, hlm. 87<br /> </div>
Team smarttarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-78985128447535883322012-04-01T09:20:00.000+07:002012-04-01T09:33:06.282+07:00Deskriptif<div style="text-align: justify;">
Metode Penelitian Deskriptif , Verifikatif<br />
<br />
Setiap penelitian yang akan dilakukan, terlebih dahulu harus ditentukan jenis penelitian dan metode yang akan digunakan sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan verifikatif. Analisis deskriptif yaitu metode penelitian yang memberikan gambaran mengenai situasi dan kejadian sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar berlaku. Yang secara luas berarti bukan hanya membuat gambaran-gambaran fenomena tapi juga menerangkan hubungan, menguji hipotesa-hipotesa, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan (Muh Nazir, 1999). Sedangkan menurut Sugiyono penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik suatu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain.<br />
Menurut Whitney (1960) yang dikutip oleh M. Nazir (1999;63) metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dang pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.<br />
Langkah-langkah umum dalam metode deskriptif adalah :<br />
1. Memilih dan merumuskan masalah<br />
2. Menentukan tujuan<br />
3. Memberikan limitasi<br />
4. Perumusan kerangka teori<br />
5. Menelusuri sumber-sumber kepustakaan<br />
6. Merumuskan hipotesis<br />
7. Melakukan kerja lapangan<br />
8. Membuat tabulasi serta analisis statistic<br />
9. Memberikan interpretasi<br />
10. Mengadakan generalisasi<br />
11. Membuat laporan penelitian<br />
<br />
Suharsimi Arikunto (2006;8) mengemukakan bahwa, “Penelitian verifkatif pada dasarnya ingin menguji kebenaran pengumpulan data di lapangan.” Berdasarkan jenis penelitian di atas, yaitu penelitian deskriftif dan verifikatif yang dilaksanakan melalui pengumpulan data di lapangan, maka metode penelitian yang digunakan adalah explanatory survey. Explanatory survey adalah suatu survei yang digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel melalui pengujian hipotesis. Menurut Kerlinger yang dikutip oleh Sugiyono (2008:11), yang dimaksud dengan metode survei yaitu:<br />
“ Metode penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, destribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis.” <br />
<br />
referensi<br />
Arikunto, Suharsimi, 2006, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek”, Edisi Revisi IV, Jakarta, Rineka Cipta.<br />
Sugiyono, 2008, “Metode Penelitian Bisnis”, Cetakan Kedua belas, Bandung, Alfabeta.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span><br />
Team Smart </div>tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-41560353969520520922012-03-02T15:28:00.000+07:002012-03-02T15:28:27.409+07:00Perjanjian Kredit Bank<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"><br />Perjanjian Kredit Bank</span><br />
<span class="fullpost"><br /></span><span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost"> Salah satu dasar yang kuat dan jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain.</span><br />
<span class="fullpost"> </span><span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost"> Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam di dalam pengertian kredit sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 11 tersebut di atas, dapat mempunyai beberapa maksud, yaitu : </span><span class="fullpost"> </span><br />
<ol>
<li><span class="fullpost">Pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam meminjam. Jadi dengan demikian hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan Bab Ketigabelas (tentang pinjam meminjam) KUH Pedata pada khususnya.</span></li>
<li><span class="fullpost">Pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis, dengan tujuan agar perjanjian tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti.</span></li>
</ol>
<span class="fullpost"> Dalam pelaksanaannya, perjanjian kredit pada umumnya harus dapat memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan 4 syarat sahnya perjanjian , yaitu :</span><br />
<ol>
<li><span class="fullpost"> Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian</span></li>
<li><span class="fullpost"> Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian</span></li>
<li><span class="fullpost"> Adanya obyek tertentu</span></li>
<li><span class="fullpost"> Adanya suatu sebab yang halal</span></li>
</ol>
<span class="fullpost"> Empat syarat tersebut diatas merupakan syarat essensial dari suatu perjanjian, artinya tanpa 4 syarat tersebut perjanjian dianggap tidak pernah ada. Adapun syarat yang pertama dan kedua disebut dengan syarat subyektif, yaitu syarat mengenai orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.</span><span class="fullpost"> </span><br />
<br />
<span class="fullpost"> Dalam praktek, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lainnya tidak sama, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank dan disesuaikan jenis kreditnya. Jadi dengan demikian perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang baku, hanya saja dalam praktek ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian, jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran kembali (repayment) pinjaman, penetapan bunga pinjaman dan denda bila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya.</span><br />
<br />
<span class="fullpost"> Perjanjian kredit ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Adapun fungsi dari perjanjian kredit adalah sebagai berikut : </span><br />
<ol>
<li><span class="fullpost">Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan</span></li>
<li><span class="fullpost">Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur</span></li>
<li><span class="fullpost">Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit</span></li>
</ol>
<span class="fullpost"> Secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian kredit atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam menyalurkan kreditnya, yaitu :</span><br />
<ol>
<li><span class="fullpost"> Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan;</span></li>
<li><span class="fullpost"> Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau akta otentik.</span></li>
</ol>
<span class="fullpost"> Pengertian perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka (kreditur dan debitur), dimana formulirnya telah disediakan oleh pihak bank (form standart/baku). Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian kredit notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.</span><br /><br /><br /><span class="fullpost">referensi :</span><br /><span class="fullpost"> Gatot Wardoyo, 1992, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Majalah Bank dan Manajemen, Edisi November-Desember 1992, hlm 64-69</span><br /><span class="fullpost"> Hasanuddin Rahman, 1995, Pendekatan Teknis Filosofis Legal Audit Operasional Perbankan, </span><br /><span class="fullpost"><br /> </span><br />
<span class="fullpost">team smart </span></div>tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com111tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-7636584780790189382012-01-15T06:09:00.002+07:002012-01-15T06:09:45.916+07:00Hukum, Sejarah Hukum<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Pengertian Hukum</span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"> Membaca beberapa literatur utamanya yang terkait dengan Ilmu Hukum, maka akan kita temukan beberapa definisi/pengertian tentang “hukum”, dan definisi tentang “hukum” itu dapat pula kita temui dari kamus, ensiklopedi ataupun dari suatu aturan perundang-undangan.</span></div>
<span class="fullpost"> Berikut akan diurai definisi “hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu hukum yang ada, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang orang tentang apa itu “hukum” salah satunya sangat dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya.<br />1. Aliran Sosiologis<br /> Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:</span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">a.Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi).</span></div>
<span class="fullpost">b.Hukum dalam arti selaku kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka).</span><br />
<span class="fullpost"><br /> Hukum bagi Rescoe Pound adalah sebagai “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum & hukum adalah sarana utamanya.<br /> <br /> Jhering menyatakan Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).</span><br />
<span class="fullpost"><br /> Bellefroid menyatakan Stelling recht is een ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geldt en op haar gezag is vastgesteid (Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu).<br /><br />2.Aliran Realis</span><br />
<span class="fullpost"> Holmes menyatakan The prophecies of what the court will do… are what I mean by the law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya artikan sebagai hukum).<br /> Llewellyn menyatakan What officials do about disputes is the law it self (apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri).</span><br />
<span class="fullpost"> Salmond menyatakan hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.<br /><br />3.Aliran Antropologi<br /> Schapera menyatakan Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan).<br /> Gluckman menyatakan Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).<br /> Bohannan menyatakan Law is that body of binding obligations which has been reinstitutionalised within the legal institution (hukum adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum).<br /><br />4.Aliran Historis<br /> Karl von Savigny menyatakan All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness, the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.<br /><br />5.Aliran Hukum Alam <br /> Aristoteles menyatakan Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.<br /> Thomas Aquinas menyatakan Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.<br /> Jhon Locke menyatakan Hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.<br /> Emmanuel Kant menyatakan Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan.<br /><br />6.Aliran Positivis<br /> Jhon Austin menyatakan Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.<br /> Blackstone menyatakan Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.<br /> Hans Kelsen menyatakan Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia… Hukum adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi<br /><br /><br />Pengertian Sejarah Hukum</span><br />
<span class="fullpost"><br /> Sudah barang tentu bahwa sejarawan hukum harus memberikan sumbangsihnya kepada penulisan sejarah secara terpadu. Bahkan sumbangsih tersebut teramat penting mengingat pesan yang begitu besar yang dimainkan oleh hukum di dalam perkembangan pergaulan hidup manusia. Hal tersebut integral dalam pengertian bahwa ia tidak dapat diwujudkan dengan memidahkan hukum dari gejala-gejala kemasyarakatan lainnya, yang antara hal-hal tersebut dengan hukum dapat ditelusuri suatu keterkaitan. Namun bersamaan dengan itu hukum tetap parsiil, oleh karena sejarah hukum mempunyai suatu objek yang terbatas dan spesifik. Bahkan hal tersebut bukanlah tugas sejarawan hukum, melainkan tugas sejarawan umum, ekonomi, politik, kesenian, literatur dan sebagainya, mencoba menyelenggarakan penulisan sejarah secara integral. Untuk dapat memperoleh titik temu dengan Van den Brink secara maksimal dapat kiranya diutarakan di sini bahwa sejarah hukum merupakan bagian dari penyelenggaraan sejarah secara integral dengan memfokuskan perhatian pada gejala-gejala hukum, di mana penulisan sejarah secara integral pula mempergunakan hasil-hasil sejarah hukum dan sekaligus meredam efek samping yang terpaksa ikut muncul ke permukaan sebagai akibat peletakan tekanan pada gejala-gejala hukum. Namun tujuan akhir sejarah hukum, yakni menunjang dan bermuara di dalam penulisan sejarah secara integral tidak boleh melenyapkan tujuan parsiil yang spesifik dan perlu ada dari disiplin ini (dari permukaan), yakni penemuan dalil-dalil dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan hukum. (John Gilissen dan Gorle, 2007:12).<br /> Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum sesuai dengan apa yang dicita-citakan, seyogyanya sejarah menyajikan dalam bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abad ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai hari ini. Akan tetapi tidak terhingganya ruang lingkup misi yang akan dijelajah ini mengakibatkan bahwa untuk alasan-alasan praktis, maka biasanya penugasan tersebut dibelah menjadi daerah bagian tempat tolak punggung sebagai berikut: (John Gilissen dan Gorle, 2007:4)<br />1.Menurut tolok ukur kronologis, misalnya sejarah purbakala, abad pertengahan dan sebagainya<br />2.Menurut tolok ukur ilmu bumi, seperti sejarah Belgia, Amerika serikat dan lain-lain<br />3.Atas dasar tematik, yakni sejarah ekonomi, literatur, kesenian, hukum dan lain-lain.<br /><br /> Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah pergaulan hidup manusia tergolong ilmu pengetahuan sosial atau ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora), yang mempunyai kesamaan dengan ilmu pengetahuan alam, yakni bahwa semua adalah empiris, artinya bertumpu pada pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan. Hanya ilmu-ilmu pengetahuan formil yang berada di luar hal-hal ini, seperti ilmu pasti, logika dan lain-lain, satu dan lain karena tidak mempunyai objek yang dapat diamati secara langsung, namun memiliki objek yang diabstraksi (perimbangan-perimbangan kuantitatif dan ruang, buah pikiran).<br /><br /><br />Team Smart</span><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span class="fullpost">
</span></div>tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1110535485579903187.post-61696758867599503662011-12-01T19:33:00.001+07:002011-12-01T19:41:45.349+07:00Perkembangan Demokrasi dan Civil Society<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Perkembangan Demokrasi dan Civil Society</span><br />
<span class="fullpost"><br />
</span><br />
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"> Pemikiran tentang demokrasi merupakan respon terhadap perkembangan sistem kekuasaan sebelumnya yaitu monarchie yang berpusat pada kekuasaan seorang raja yang kemudian menimbulkan pemerintahan sewenang-wenang sebagai akibat terpusatnya kekuasaan pada tangan seseorang atau tirani. Penguasa tirani tidak lama bertahan karena kemudian disingkirkan oleh sekelompok bangsawan yang kemudian menciptakan pemerintahan aristokrasi yang kemudian karena terlalu mementingkan kelompok bangsawan mendapatkan perlawanan dari sekelompok orang yang ingin memperjuangkan kepentingan orang banyak yaitu kekuasaan oligarchi. Dalam perkembangan lebih lanjut kekuasaan oligarchi kemudian digantikan oleh kekuasaan demokrasi. </span><br /><br /><span class="fullpost"> Dalam perkembangan lebih lanjut teori demokrasi ini pun berkembang ada yang menitikberatkan pada konsep liberalisme yang melahirkan demokrasi liberal dan yang mementingkan sosial yang melahirkan teori demokrasi sosialis. Kedua pemikiran tersebut mempunyai kelemahan, yaitu demokrasi liberal melahirkan kebebasan individu, egois dan a-sosial , sementara demokrasi sosialis yang mengsubordinasikan hak-hak individu oleh negara sehingga menimbulkan penafsiran terhadap kecenderungan gejala-gejala sosial. Penafsiran terhadap demokrasi kemudian bergeser bukan pada segi substani dan atau normatif melainkan pada segi prosedural di mana rakyat meraih hak-haknya dalam rangka kekuasaan pemerintah. Muladi, menjelaskan bahwa pemahaman tentang istilah demokrasi sangat bias karena merupakan suatu istilah yang penuh dengan nilai (value loaded). Akan tetapi terdapat asas-asas umum (general principles) yang menjadi ciri demokrasi yaitu :</span><br /><span class="fullpost">1.keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan;</span><br /><span class="fullpost">2.adanya persamaan atau equality;</span><br /><span class="fullpost">3.adanya perlindungan hak-hak dasar manusia;</span><br /><span class="fullpost">4.adanya sistem perwakilan;</span><br /><span class="fullpost">5.pemerintahan berdasar hukum atau rule of law;</span><br /><span class="fullpost">6.sistem pemilihan yang menjamin pemerintahan mayoritas;</span><br /><span class="fullpost">7.pendidikan masyarakat yang memadai; </span><br /><br /><span class="fullpost"> Menurut beberapa ahli tentang pemahaman demokrasi antara lain Cord dkk, Sargent serta Alfond dan Coleman.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Demokrasi merupakan suatu terminologi yang sarat dengan makna dan tafsir. Satu hal yang pasti adalah bahwa pengertiannya berkaitan erat (linkage) dengan sistem sosial yang mendukungnya. Dengan demikian akan ternyata bahwa, di samping mengandung unsur-unsut yang universal (common denominator), demokrasi juga mengandung muatan-muatan kontekstual yang melekat pada suatu sistem sosial tertentu (cultural relativism). Dalam hal ini sering dikatakan bahwa “there is probably no single word which has been given more meanings than democracy”.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Demokrasi telah tumbuh berabad-abad lamanya melalui modifikasi, baik melalui pelbagai teori demokrasi maupun melalui praktek demokrasi di pelbagai negara. Kajian komparasi menunjukkan bahwa terdapat perbedan-perbedaan yang berarti diantara pelbagai teori dan praktek tersebut, sehingga menciptakan keanekaragaman makna dan tafsir tentang kata “democratic”.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Kata “democracy” menurut beberapa penulis hendaknya hanya digunakan untuk menggambarkan demokrasi langsung (direct democracy). Mereka bahkan ingin menggantikan istilah “democratic” dengan kata “republican” yang dirasa lebih akurat untuk mengartikan suatu sistem pemerintahan yang didasarkan atas wakil-wakil yang dipilih rakyat. Penulis yang lain memilih untuk memodifikasi istilah demokrasi, dengan menambahkan kata “participatory” di depannya guna memberikan tekanan terhadap pentingnya peranan warga negara dalam pengambilan keputusan yang terus menerus harus diberdayakan.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Kata “democracy” berasal dari istilah Greel “demokratia” : “demos” (rakyat) dan “kratos” (pemerintahan), sehingga secara utuh bermakna pemerintahan oleh rakyat (rule by the people), yang menunjuk pada bentuk-bentuk pemerintahan rakyat yang bersifat partisipatori baik langsung atau atas dasar perwakilan. Dewasa ini istilah tersebut mempunyai makna positif di segala penjuru dunia, bahkan pelbagai pemerintahan yang sebenarnya tidak demokratispun (very little or even no rule by the people) menyebut dirinya demokratik.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Hubungan antara demokrasi dan hukum nampak dari batasan bahwa “democracy is a political system which supplies regular constitutional opportunities for changing the governing official, and a social mechanism which permit the largest possible part of the population to influence major decision by choosing among contenders for political office”. Istilah “constitutional” menunjukkan bahwa pemerintahan selalu bersifat terbatas. Batasan-batasan atas praktek pemerintahan berdasarkan hukum tidak hanya berlaku untuk rakyat, tetapi juga untuk pemerintah.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Pokok-pokok pikiran tersebut diatasnamakan apa yang dinamakan standar demokrasi (standard of democracy), walaupun demokrasi sendiri bukanlah suatu kesatuan yang statis (democracy is not a static entity). Secara ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin politik (political machinery), tetapi juga mengandung pandangan hidup (way of living) suatu masyarakat. Tinggi rendahnya standar demokrasi tergantung dari pelbagai faktor pendukung (falicitating condition), sperti tingkat kemajuan sosial ekonomi, kualitas golongan menengah, dan kualitas kepemimpinan.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Pelbagai riset menunjukkan bahwa tingkat pemerataan kekayaan, perkembangan industri dan kemajuan pendidikan adalah lebih tinggi di negara yang lebih demokratis. Slanjutnya hampir dapat dikatakan bahwa tidak mungkin demokrasi modern akan sukses tanpa adanya perkembangan yang berarti dari golongan menengah, yang diharapkan akan dapat menjembatani kesenjangan antara rakyat dan negara. Demikian pula dapat dikatakan bahwa tanpa adanya kepemimpinan yang efisien dan trampil demokrasi tidak mungkin efektif. Sekalipun demikian harus diakui bahwa faktor-faktor tersebut tidak mungkin berdiri sendiri-sendiri.</span><br /><br /><span class="fullpost"> Berkaitan dengan pembahasan tentang demokrasi, seringkali disebut-sebut tentang konsep ”civil society” atau masyarakat madani. Yang sering diartikan sebagai masyarakat beradab atau civilized society. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa istilah madinah itu berarti kota berasal dari akar kata yang sama dengan madaniyyah atau tamaddun yang berarti peradaban atau civilization. Dengan demikian secara garfiah kata madinah berarti tempat peradaban atau suatu lingkungan hidup yang beradab, memiliki kespoanan, civility, yakni tidak liar.</span><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: left;">
<span class="fullpost">Referensi </span><span class="fullpost"> </span></div>
</div>
<div style="text-align: left;">
<span class="fullpost">Carol C. Gould, Demokrai Ditinjau Kembali, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993, hlm. 5-7</span><span class="fullpost"> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<span class="fullpost">Muladi, Dimensi Negara Hukum, Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Dalam Transformasi Nilai dan Struktur Bangsa, bahan kuliah Program Doktor UNDIP, 1997</span><span class="fullpost"> </span></div>
<div style="text-align: left;">
<span class="fullpost">Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Pancamadina, Jakarta, 1992, hlm. 319 </span></div>
<br /><span class="fullpost">Team Smart</span></div>
</div>
<span class="fullpost"><br />
</span></div>tarahttp://www.blogger.com/profile/16396374311007096224noreply@blogger.com0