Secara umum pelaku dalam kejahatan perbankan terdapat dalam dua kategori, yaitu perorangan dan pelaku korporasi. Pelaku perorangan pada dasarnya merupakan pelaku konvensional, sehingga kejahatan yang ditimbulkan dengan sendirinya juga bersifat konvensional. Pada pelaku korporasi terdapat hal-hal yang sulit dibuktikan, terutama terdapatnya kolusi antara pemerintah, menteri keuangan dan otoritas bank. Pelaku korporasi yang sangat ternama pada kejahatan perbankan adalah apa yang disebut dengan pelaku white collar crime ( WCC ). Hal ini dikarenakan kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk dari WCC.

Sutherland merumuskan, pelaku kejahatan tersebut adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dapat mempengaruhi undang-undang dan orang-orang yang mempunyai status sosial tinggi serta melakukan kejahatan tersebut dalam kaitan dengan pekerjaannya[1].

Ciri – ciri dari pelaku white collar crime menurut Sawidji dapat disebutkan antara lain:

  1. Pelaku mempunyai tingkat kemampuan dan tingkat intelektual yang cukup tinggi dan tidak jarang melebihi tingkat kemampuan dari aparat penegak hukum sehingga sulit mengungkapkannya.

  2. Pelaku white collar crime memiliki sarana dan prasarana yang sering lebih canggih dari sarana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.

  3. Pelaku white collar crime mengetahui celah-celah atau kelemahan dari undang-undang atau peraturan yang berkaitan dengan kegiatannya atau berkaitan dengan bidang tujuannya dan pelaku white collar crime pandai memanfaatkan celah-celah atau kelemahan dari peraturan tersebut.[2]


Tipologi dari WCC yang menarik dikaji menurut Mark Moore adalah :

1. Individual exploitation of instutional position

    Kategori dari white collar crime ini mencakup eksploitasi yang dilakukan oleh individu dengan mempergunakan kekuasaan atau kedudukan dalam organisasi atau perusahaan, untuk memperoleh keuntungan dari pihak lain yang menaruh minat terhadap penggunaan kekuasaan tersebut.

    2. Embezzlement and Employee Fraud

      Tipe ini mencakup penggunaan kedudukan untuk melakukan penggelapan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi. Perusahaan atau organisasi yang mempekerjakan pelaku penggelapan adalah korban dari white collar crime. Perbuatan atau kejahatan yang dilakukan tidak selalu menuntut syarat dimilikinya kedudukan yang tinggi oleh pelaku, akan tetapi lebih dimungkinkan karena adanya peluang yang ditimbulkan karena pelaku menguasai bidang pekerjaannya.

      3. Influencc Paddling and Bribery

        Di mana seorang individu dengan kedudukan institusional yang penting menjual kekuasaan, pengaruh dan informasi kepada orang luar yang mempunyai kepentingan dalam mempengaruhi kegiatan-kegiatan institusi tersebut.

        4. Wilful Non-ComplianceWith Rules Regulating the Conduct of Economic, Politic and Governmental Institution.

          Komponen ini mencakup suatu tindakan di mana kekuasaan intitusi menyerang hukum, yang justru sebenarnya menjadi pengendali bagi institusi agar tidak merugikan masyarakat dan menuntut agar institusi melakukan tindakan sosial yang baik.[3]

          Pada dasarnya hanya ada dua jenis kejahatan perbankan yaitu dalam bentuk error omission dan error commission. Error omission berupa pelanggaraan terhadap suatu ketentuan sistem dan prosedur yang seharusnya dipatuhi tetapi tidak dilaksanakan. Sedangkan error commission berupa pelanggaran dalam melaksanakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh, tetapi karena tidak tertulis dalam sistem dan prosedur tetap saja dilakukan.[4]


          [1] Johannes Sutoyo dan Adrianus Meliala, 1994. Politik Kejahatan Terhadap Pelaku White Collar Crime, Jurnal Ilmu –Ilmu Sosial, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 15.

          [2] Yunan Sawidji, 1996, Kebijakan Penal Indonesia Terhadap Kejahatan Terorganisasi, Malakah, Badan Eksekutif Mahasiswa, FHUK UGM, Yogyakarta, hlm.9

          [3] Larry J Siegel, 1984.,Criminology, University Nebraska, Ohama, hlm.27

          [4] Krisna Wijaya, 2000,Op. Cit, hlm, 38.