Gender

Sejarah dan Pengertian Gender

Gender memang tidak bersifat universal, tetapi hierarki gender dapat dikatakan universal. Oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah konsep gender. Secara garis besar teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hierarki gender dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: teori adaptasi awal, teori teknik-lingkungan, teori sosiobiologi, dan teori struktural.1

Teori Adaptasi Awal  menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja secara seksual. Teori adaptasi awal dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut:
1.Berburu sangat penting bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.
2.Laki-lakilah yang hampir selalu melakukan kegiatan berburu.
3.Perempuan tergantung pada laki-laki untuk memperoleh daging.
4.Laki-laki berbagi daging buruannya terutama dengan istri-istrinya dan anak-anaknya.
5.Sekali pola pembagian peran berdasarkan jenis kelamin ini terbentuk, dia tidak berubah hingga sekarang.

Teori teknik-lingkungan didasarkan pada apa yang dianggap sebagai hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya dan tekanan penduduk. Teori ini menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah menjadi masalah sejak dulu. Dalam konteks ini, subordinasi perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.

Menurut teori Teori Sosiobiologi dominasi laki-laki muncul sebagai akibat seleksi alam, terutama yang berkaitan dengan ketahanan tubuh. Serangkaian teori yang dikelompokkan dalam kategori teori struktural dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus universal. Salah satu kelompok teori yang masuk golongan struktural ini beranggapan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah dan otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik.Kelompok lain dari teori stuktural berpendapat bahwa subordinasi perempuan itu struktural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal antara perempuan dengan alam dan laki-laki dengan budaya.

Kemudian apakah konsep gender itu sendiri? Beberapa tahun terakhir, gender menjadi satu kajian keilmuan tersendiri yang mampu melakukan kajian analisa atas berbagai kasus permasalahan kehidupan bermasyarakat. Meskipun demikian banyak sekali kesalahpahaman dalam masyarakat  menyangkut apa itu gender. Gender menjadi identik dengan perjuangan kaum perempuan. Pemahaman gender menjadi lebih sempit kepada pengertian seks (jenis kelamin) semata padahal gender mempunyai satu pengertian dan pemahaman yang lebih luas dari hanya sekedar pengertian seks (jenis kelamin) tersebut.
Pembedaan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin), merupakan langkah awal untuk memahami konsep gender dan persoalan yang dialami kaum perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities), karena secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis. Seks (jenis kelamin) merupakan pemberian atau ketentuan Tuhan (kodrat). Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan, artinya alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak berubah.

Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.2 Julia Cleves Mosse menggambarkan gender sebagai seperangkat peran, seperti halnya kostum dan topeng dalam teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin.3 Berbeda dengan seks, dalam gender sifat yang melekat pada manusia dapat ditukar, maksudnya laki-laki dapat bersifat seperti perempuan, dan juga sebaliknya perempuan dapat bersifat seperti laki-laki. Jadi konsep gender dapat pula diartikan sebagai semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu,  serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya.4

Seorang ahli antropologi, Alice Schlegel, menggunakan istilah gender meaning (pengartian gender) yang mempunyai arti serupa dengan ideologi gender, yaitu bagaimana kedua jenis kelamin “dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”. Menurutnya pengertian gender ini bisa dibedakan dalam pengertian umum dan pengartian khusus.

Pengertian umum adalah “bagaimana laki-laki dan perempuan didefinisikan dalam arti yang abstrak, yaitu ciri-ciri khusus yang diberikan pada mereka atas dasar jenis kelamin mereka”. Sedangkan pengartian khusus adalah “pendefinisian gender menurut lokasi tertentu dalam struktur sosial atau dalam bidang kegiatan tertentu”. 5  Adapun sejarah perbedaan gender terjadi melalui proses yang sangat panjang, antara lain dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial melalui ajaran agama maupun negara, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.
Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tetapi perbedaan gender tidak selalu bertumpu pada perbedaan biologis. Misalnya, fungsi mengasuh anak dan pengurusan rumah tangga tidak selalu dikerjakan oleh perempuan atau ibu. Bahkan seringkali perempuan aktif dalam pekerjaan yang pada masyarakat ”Barat” digolongkan sebagai “pekerjaan laki-laki”. Oleh karena jenis pekerjaan tersebut dapat dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut sebagai “kodrat perempuan” dalam kasus mendidik anak dan mengatur rumah tangga, sesungguhnya adalah gender

Referensi

1 Fauzie Ridjal, dkk.(editor), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesial,  PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, hal. 33-34.
2 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,Yogyakarta,  1996, hal. 8.
3 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 3.
4 Mansour Fakih,  Op.Cit.,  hlm. 9. Schegel , diambil dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, hlm 196.

















read more “Gender”

Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah


Kegiatan usaha atau operasional bank syariah menganut 3 (tiga) prinsip utama dalam bank syariah. Prinsip-prinsip utama tersebut adalah :  

   1. Prinsip Keadilan       Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah
 
  2. Prinsip Kesederajatan
       Bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank pada  kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak,    kewajiban, risiko dan keuntungan yang berimbang diantara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.


  3.  Prinsip Ketentraman
       Produk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah mu’amalah Islam (halal), antara lain ada unsur riba dan menerapkan zakaat harta. Dengan demikian nasabah merasakan ketentraman lahir maupun batin.

     
Berdasarkan pada 3 (tiga) prinsip utama bagi bank syariah tersebut di atas, maka dalam operasional kegiatan pelayanan kepada masyarakat bank syariah menerapkan prinsip-prinsip dasar perbankan syariah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (depository/Al Wadi’ah)
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing/Al Musyarakah & Al Mudharabah)
3. Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase/Bai’ Al Murabahah)
4. Prinsip Sewa (Lease/Al Ijarah)
5. Prinsip Jasa (Fee Based Services)

Prinsip titipan atau simpanan dalam tradisi fiqh Islam dikenal dengan prinsip Al Wadi’ah. Al Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Akad Wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia.  Wadi’ah yang dipraktekan pada bank-bank syariah di Indonesia adalah wadi’ah dalam pengertian sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakan oleh pihak bank, sehingga konsep wadi’ah yang dipergunakan adalah wadi’ah yad ad daminah (titipan dengan risiko ganti rugi). Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam 4 (empat) akad utama, yaitu : al musyarakah, al mudharabah, al muzara’ah dan al musaqah. Sungguh pun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqah dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian (plantation financing) oleh beberapa bank syariah. 

Al musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan al mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi akan ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian dari si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Bentuk-bentuk akad jual beli yang sering dipergunakan dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah adalah bai’ al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Sistem pembiayaan ini pada dasarnya adalah pembiayaan dengan sistem jual beli, dimana bank membiayai pembelian barang kepada nasabah adalah sebesar harga pokok barang ditambah margin keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabah. Sedangkan pengertian dari bai’ as salam adalah pembelian barang yang akan diserahkan di kemudian hari dengan pembayaran yang dilakukan di muka.

Prinsip sewa (al ijarah) adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Bank syariah yang menawarkan produk al ijarah ini dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease.Di samping keempat prinsip dasar dalam perbankan syariah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka masih terdapat satu prinsip dasar lagi yaitu prinsip jasa. Termasuk dalam kelompok jasa ini terdapat beberapa produk bank syariah, yaitu : al wakalah, al kafalah, al hawalah, ar-rahn dan al qardh. Prinsip jasa dalam perbankan syariah ini merupakan prinsip yang bersifat mendukung dan melengkapi terhadap prinsip-prinsip dasar lainnya, karena dalam kelompok jasa ini biasanya dipergunakan sebagai akad tambahan yang bersifat jaminan/menjamin terhadap produk/akad lain.


Daftar pustaka
Dewan Redaksi Ensiklopedia Hukum Isalm, 1997.
Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid 6, P.T. Ichtiar Baru Van Houve , Jkt.
Muh. Syafi'i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Tazkia Institute, 1999.
Sutan Reny Syahdeini, Perbankan Islam, P.T., Pustaka Utama Grafiti, Jkt.
Team Smart


  
          
   
read more “Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah”

Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia

Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, di antaranya merupakan kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaannya boleh ditunda, yaitu termasuk ke dalam kategori derogable rights. Hak-hak yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.

Ada pula sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaanya dalam keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non derogable rights. Hak-hak yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak diberlakukan hukum yang berlaku surut, dan hak untuk bebas berpikir, berhati nurani dan beragama.

Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang bersifat non derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu pelanggaran berat HAM. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata “berat” bermaksud untuk menggambarkan tingkat kerusakan, kerugian atau penderitaan yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut.

Apa yang dimaksud dengan istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, belum mendapat kesepakatan yang diterima secara umum. Biasanya kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa parahnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata “berat” juga berhubungan dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non derogable.

Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah direncanakan. Misalnya, kebijakan apartheid yang diskriminatif di Afrika Selatan pada masa lalu. Kebijakan tersebut oleh pemerintah Afrika Selatan secara nyata telah membeda-bedakan perlakuan terhadap warga negaranya berdasarkan warna kulit (ras), yaitu antara negro dan kulit putih. Kebijakan “kemurnian ras” yang dilakukan secara sistematis oleh Nazi Jerman semasa Adolf Hitler berkuasa, yaitu dengan melakukan genosida terhadap kaum Yahudi dan Gipsi merupakan pelanggaran berat HAM.

Pelanggaran berat HAM juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang meluas atau widespread. Hal ini biasanya akan mengarah kepada jumlah korban yang sangat besar dan kerusakan parah secara luas yang ditimbulkannya. Namun demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran berat HAM. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan istilah gross and sistematic violations, the most serious crimes, gross violations, grave violations dan sebagainya.

Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran berat HAM sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk (population) secara keseluruhan atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus menerus dilanggar atau diancam.

Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di dalam resolusi, deklarasi, maupun dalam perjanjian HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius. Akan tetapi, hukum HAM internasional khususnya yang dikembangkan di dalam lingkup PBB telah mengakui adanya pelanggaran HAM yang berkategori berat dan sistematis. Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat HAM akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi, “the prohibition of slavery, the rights to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ethnic cleansing”

Dalam studinya, the Battle of Human Rights: Gross Systematic Violations and the Inter-American System, dalam Bab II, Cecilia Medina Quiroga mengajukan proposal mengenai definisi “pelanggaran hak asasi manusia yang berkategori berat dan sistematik”. Mengenai jenis hak yang dilanggar, ia menyebut hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi.

Pelanggaran berat HAM menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.  Yang dimaksud dengan kejahatan genosida:
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”.

Adapun yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah:
“Suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.

Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas substansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma. Menyangkut pelanggaran berat HAM, di dalam the US Restatement of Law dikatakan bahwa suatu pelanggaran HAM dianggap “berat” apabila pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan, karena begitu pentingnya hak yang dilanggar atau beratnya pelanggaran.

Pelanggaran berat HAM termasuk pula dalam kategori extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan).
 
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, walaupun hingga kini belum didefinisikan secara tegas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran berat HAM adalah pelanggaran terhadap HAM yang bersifat non derogable rights serta di dalamnya mengandung unsur-unsur yang bersifat sistematis dan meluas.


Daftar Pustaka

Andrey Sujatmoko, 2005, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan lainnya, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005.

Baehr, 1999, Human Rights Universality in Practice, St. Martin’s Press, New York.

Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan, dalam F. Budi Hardiman, et.al., 2003, Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM



Team Smart





























read more “Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia”

Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Praktek bank konvensional dan bank syariah dalam beberapa hal memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan dan persyaratan administratif lainnya. Akan tetapi secara mendasar, diantara kedua sistem bank tersebut terdapat banyak perbedaan. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha atau produk perbankan dan lingkungan kerja

Berdasarkan prinsip yang berlaku dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrowi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, yaitu mengenai hukum dan syaratnya. Rukun dari akad dalam bank syariah adalah adanya para pihak (nasabah dan bank), adanya obyek akad, kesepakatan mengenai nilai akad dan adanya ikrar ijab qabul. Sedangkan sebagai syaratnya antara lain adalah mengenai jenis barang/jasa harus jelas, tempat penyerahan barang/jasa dan masalah hak kepemilikan atas barang/jasa yang menjadi obyek akad.

Perbedaan dari segi struktur organisasi antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank konvensional. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap pendapat yang diberikan oleh Dewan Pengawas syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.

Bisnis dan usaha yang dilakukan oleh bank syariah tidak terlepas dari saringan nilai-nilai syariah. Oleh karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha/proyek yang didalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan. Suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan terlebih dahulu beberapa hal pokok sebagai berikut :
1.    Apakah obyek pembiayaan itu halal atau haram?
2.    Apakah proyek itu akan menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3.    Apakah proyek tersebut berkaitan dengan perbuatan asusila?
4.    Apakah proyek itu berkaitan dengan perjudian?
5.   Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
6.    Apakah proyek itu dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?

Apabila terdapat perselisihan atau perbedaan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak akan menyelesaikannya melalui pengadilan, akan tetapi mereka akan menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tata cara dan hukum yang berlaku dalam syariah Islam. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Mahkamah Agung dan Majelis Ulama Indonesia.

Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shidiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga dan sesuai dengan akhlaq seorang muslim/muslimah yang baik.


  Daftar Pustaka
 
  Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
  M. Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta.



  Team Smart


read more “Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional”

Kepercayaan merk


Kepercayaan merek (trust in a brand) didefinisikan sebagai keinginan pelanggan untuk bersandar pada sebuah merek dengan risiko-risiko yang dihadapi karena ekspektasi terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif (Tjahyadi, 2006:71). Kepercayaan konsumen terhadap merek merupakan variabel yang menghasilkan komitmen pelanggan dengan keterlibatan yang tinggi, di mana memiliki efek yang kuat dalam penilaian konsumen terhadap kepuasan secara keseluruhan (Delgado dan Munuera 2001 dalam Hasan Afzal, et.al, 2010).

Kepercayaan memiliki dua dimensi, yaitu kredibilitas dan benevolence. Kredibilitas didasarkan pada keyakinan akan keahlian partner untuk melakukan tugasnya secara efektif dan dapat diandalkan. Benevolence adalah suatu keyakinan bahwa maksud dan motivasi partner akan memberikan keuntungan bersama (Doney dan Canon, 1997 dalam Tjahyadi, 2006:71). Hal ini menjelaskan bahwa penciptaan awal hubungan dengan partner didasarkan pada trust (kepercayaan).

Menurut Lau dan Lee (dalam Yohana, 2007), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Ketiga factor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut adalah merek itu sendiri (Brand characteristic), perusahaan pembuat merek (Company characteristic), dan konsumen (Consumer-brand characteristic).
 1. Brand characteristic
    Brand characteristic mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan pengambilan      keputusan konsumen untuk     mempercayai suatu merek. Hal ini disebabkan oleh konsumen melakukan penilaian sebelum membeli. Karakteristik     merek yang berkaitan dengan kepercayaan merek meliputi mempunyai reputasi (Brand Reputation), dapat diramalkan     (Brand Predictability), dan kompetensi merek (Brand Competence) (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:72).
     a. Brand Reputation
             Brand reputation berkenaan dengan opini dari orang lain bahwa merek itu baik dan dapat        diandalkan (reliable).         Reputasi merek dapat dikembangkan bukan saja melalui advertising dan public relation, tapi juga dipengaruhi oleh         kualitas dan kinerja produk. Pelanggan akan mempersepsikan bahwa sebuah merek memiliki reputasi baik, jika sebuah         merek dapat memenuhi harapan mereka, maka reputasi merek yang baik tersebut akan memperkuat kepercayaan         pelanggan (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:73).

     b. Brand Predictability
       Predictable brand adalah merek yang memungkinkan pelanggan untuk mengharapkan bagaimana sebuah merek akan         memiliki performance pada setiap pemakaian. Predictability mungkin karena tingkat konsistensi dari kualitas produk.         Brand predictability dapat meningkatkan keyakinan konsumen karena konsumen mengetahui bahwa tidak ada sesuatu         yang tidak diharapkan akan terjadi ketika menggunakan merek tersebut. Karena itu, brand predictability akan         meningkatkan kepercayaan terhadap merek karena predictability menciptakan ekspektasi positif (Kasperson et al.,         1992; Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:73).

    c. Brand Competence
        Brand competence adalah merek yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh         pelanggan, dan dapat memenuhi kebutuhannya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian dan karakteristik yang         memungkinkan suatu kelompok memiliki pengaruh dalam suatu wilayah tertentu (Butler dan Cantrell, 1984; Lau dan         Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:73). Ketika diyakini bahwa sebuah merek itu mampu untuk menyelesaikan         permasalahan dalam diri pelanggan, maka pelanggan tersebut mungkin berkeinginan untuk meyakini merek tersebut.

2. Company characteristic
  Company characteristic yang ada dibalik suatu merek juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap     merek tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan yang ada di balik merek suatu produk merupakan dasar awal     pemahaman konsumen terhadap merek suatu produk. Karakteristik ini meliputi kepercayaan terhadap perusahaan (Trust     in Company), reputasi perusahaan (Company Reputation), motivasi perusahaan yang diinginkan (Company Perceived     Motives), dan integritas suatu perusahaan (Company Integrity) (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:72). 
     a. Trust in the Company
        Dalam kasus perusahaan dan mereknya, perusahaan merupakan entitas terbesar dan merek     merupakan entitas terkecil         dari entitas terbesar tersebut. Sehingga, pelanggan yang percaya terhadap perusahaan kemungkinan percaya terhadap         mereknya (Tjahyadi, 2006:74).
    
     b. Company Reputation
        Ketika pelanggan mempersepsikan opini orang lain bahwa perusahaan dikenal adil dan jujur, maka pelanggan akan         merasa lebih aman dalam memperoleh dan menggunakan merek perusahaan. Dalam konteks saluran pemasaran, ketika         perusahaan dinilai memiliki reputasi yang baik, maka pelanggan kemungkinan besar akan percaya pada pengecer dan         vendor (Anderson dan Weitz, 1992 dalam Tjahyadi, 2006:74).

    c. Company Reputation
        Ketika pelanggan mempersepsikan opini orang lain bahwa perusahaan dikenal adil dan jujur, maka pelanggan akan         merasa lebih aman dalam memperoleh dan menggunakan merek perusahaan. Dalam konteks saluran pemasaran, ketika         perusahaan dinilai memiliki reputasi yang baik, maka pelanggan kemungkinan besar akan percaya pada pengecer dan         vendor (Anderson dan Weitz, 1992 dalam Tjahyadi, 2006:74).

     d. Company Integrity
        Integritas perusahaan merupakan persepsi pelanggan yang melekat pada sekumpulan dari prinsip-prinsip yang dapat         diterima. Perusahaan yang memiliki integritas tinggi tergantung pada konsistensi dari tindakannya di masa lalu,         komunikasi yang akurat tentang perusahaan dari kelompok lain, keyakinan bahwa perusahaan memiliki sense of justice         yang kuat, serta tindakannya sesuai dengan janji-janjinya. Jika perusahaan dipersepsikan memiliki integritas tersebut,         maka kemungkinan merek perusahaan akan dipercaya oleh pelanggan (Lau dan Lee, 1999 dalam Tjahyadi, 2006:74).

 3. Consumer-brand characteristic
     Consumer-brand characteristic merupakan dua kelompok yang saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, karakteristik              konsumen – merek dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan antara                 konsep emosional konsumen dengan kepribadian merek (Similarity between Consumer self-concept & Brand                  Personality), kesukaan terhadap merek (Brand Liking), pengalaman terhadap merek (Brand Experience), Kepuasan              akan merek (Brand Satisfaction), dan Dukungan teman (Peer Support) (Lau dan Lee, 1999Tjahyadi, 2006:72).                 
Masing-masing karakteristik, dapat dijelaskan sebagai berikut:

 a. Kemiripan antara konsep diri konsumen dan personalitas merek
   Konsep diri merupakan totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai objek sehingga sering          kali dalam konteks pemasaran dianalogkan merek sama dengan orang (Riana, 2008:186). Merek mempunyai citra dan          personalitas dimana citra merek merupakan satu set asosiasi yang dihubungkan dengan satu merek yang selalu diingat          konsumen yang dirasa memberikan personalitas. Konsumen kadang berinteraksi dengan merek layaknya dengan                 manusia khususnya jika merek dikaitkan dengan produk dengan keterlibatan tinggi. Dion et.al. (1995) seperti dikutip            oleh Yohana (2007:67) menunjukkan bahwa persamaan personalitas antara pembeli dan sales person dalam hubungan          industrial pembelian mempengaruhi trust pembeli pada sales person. Bila atribut fisik suatu merek atau personalitas             dipertimbangkan menjadi sama pada citra diri konsumen maka konsumen akan mempercayainya.

 b. Kesukaan akan merek
    Kesukaan terhadap merek menunjukkan kesukaan yang dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain karena            kesamaan visi dan daya tarik. Kesukaan menunjukkan kesenangan yang pasti satu pihak terhadap pihak lain karena              pihak tersebut menemukan pihak lain yang lebih cocok dan menyenangkan. Untuk memulai suatu hubungan, suatu               pihak harus disukai oleh pihak lain. Bagi konsumen yang akan membentuk hubungan dengan suatu merek, maka                 proses awalnya adalah konsumen harus menyukai merek tersebut. Ketika seorang konsumen menyukai suatu merek,            maka konsumen akan terdorong untuk menemukan sesuatu yang lebih tentang merek tersebut, hal inilah yang                 merupakan latar belakang tahap untuk mempercayai merek tersebut. Dalam pemasaran, jika konsumen menyukai suatu         merek dan menemukan merek yang menyenangkan serta cocok, konsumen mungkin akan lebih mempercayai merek            tersebut atau menunjukkan keinginan untuk percaya pada merek tersebut (Lau dan Lee, 1999 seperti dikutip oleh                 Yohana, 2007).

  c. Pengalaman akan merek
     Pengalaman akan merek menunjukkan bertemunya merek dengan konsumen di masa lalu terutama dalam                 penggunaannya yang dilakukan secara berulang sehingga menghasilkan komitmen untuk jangka panjang. Pada riset              yang dilakukan oleh Scanzoni (1979) dan Dwyer et al. (1987); Lau dan Lee (1999) dalam Yohana (2007), menjelaskan          bahwa pengalaman dengan channel partner bertambah seiring dengan meningkatnya hubungan dan pengertian serta              kepercayaan satu sama lain. Dengan perkataan lain, konsumen yang mempunyai pengalaman lebih dengan satu merek          akan lebih mengerti dan makin lebih mempercayai merek tersebut yang tidak dibatasi pada pengalaman positif saja               tetapi juga pada beberapa pengalaman yang memperbaiki kemampuan konsumen untuk memprediksi kinerja merek.

d.   Kepuasan akan merek
      Kepuasan akan merek dapat didefinisikan sebagai hasil dan evaluasi terpilihnya suatu merek dan beberapa alternatif             yang sesuai atau bahkan melebihi harapan (Bloemer & Kasper, 1995; Lau & Lee, 1999, seperti dikutip Yohana, 2007).         Dalam hubungan yang berkelanjutan, kepuasan di masa lalu mengindikasikan adanya ekuitas di dalam pertukaran.                Menurut Butler (1991); Lau & Lee (1999); seperti dikutip Yohana (2007), mengidentifikasikan bahwa pemenuhan janji          merupakan anteseden trust dalam hubungan pemasaran industri. Ketika konsumen puas dengan suatu merek setelah            menggunakannya, situasi ini sama dengan terpenuhinya janji.

 e.   Dukungan teman
       Penentu yang penting dalam perilaku individu adalah pengaruh dari orang lain dimana pembelian suatu produk oleh              konsumen akan mengkonfirmasikan terlebih dahulu dengan teman satu kelompoknya untuk merespon pendapat dan            reaksi mereka terhadap pemilihan dan penggunaan produk tersebut (Bearden & Rose, 1990, dalam Yohana, 2007)               Konsumen akan mempercayai suatu merek jika teman yang lain juga menyampaikan tentang hal yang sama, dengan              kata lain konsumen secara tidak langsung mendapatkan ijin dan dukungan dan teman satu kelompok dalam tindakan            berikutnya.

4. Sikap terhadap merek
      a. Pengertian Sikap
          Sikap disebut juga sebagai konsep yang paling khusus dan sangat dibutuhkan dalam psikologis sosial kontemporer.           Sikap juga merupakan salah satu konsep yang paling penting yang digunakan pemasar untuk memahami konsumen.           Definisi sikap menurut Allport dalam Setiadi (2003) adalah suatu mental dan syaraf sehubungan dengan kesiapan           untuk menanggapi, diorganisasi melalui pengalaman dan memiliki pengaruh yang mengarahkan dan atau dinamis           terhadap perilaku. Definisi yang dikemukakan oleh Allport tersebut mengandung makna bahwa sikap adalah           mempelajari kecenderungan memberikan tanggapan terhadap suatu obyek baik disenangi ataupun tidak disenangi           secara konsisten. Engel dalam Suwito (2007:25) membagi sikap menjadi tiga komponen sebagai berikut:
          a).  Kognitif
                Kognitif berhubungan dengan pengenalan dan pengetahuan obyek beserta atributnya.
          b).  Afektif
                Afektif memberikan tanggapan tentang perasaan terhadap obyek dan atributnya.
          c).  Konasi
                Dalam konasi seorang memiliki minat dan tindakan dalam sebuah perilaku.

 Engel dalam Suwito (2007:26) menjabarkan dimensi sikap sebagai berikut:
      1. Valance
          Mengaju pada sikap positif , sikap negatif, atau netral.
      2. Extermity
          Keekstriman merupakan intensitas kesukaan dan ketidak sukaan.
      3. Resistance
          Tingkat dimana sikap kebal terhadap perubahan.
      4.  Persistence
           Merefleksikan bahwa sikap dapat berubah secara perlahan-lahan /gradual.
      5.  Confidence
           Tidak semua sikap berada pada tingkat keyakinan yang sama
 

   b. Sikap terhadap Merek
       Sikap terhadap merek menurut Assael (2001: 282) adalah kecenderungan yang dipelajari oleh konsumen untuk        mengevaluasi merek dengan cara mendukung (positif) atau tidak mendukung (negatif) secara konsisten. Evaluasi        konsumen terhadap merek tertentu ini di mulai dari sangat jelek sampai sangat bagus. Sikap terhadap merek        didasarkan pada skema tentang merek tersebut yang telah tertanam dibenak konsumen.  
      Merek bukanlah sekedar nama yang menempel pada suatu produk. Beragamnya produk dan derasnya arus informasi,          mengakibatkan merek menjadi hal pertama yang diingat oleh konsumen. Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk            menanamkan merek produk dalam benak konsumen, sehingga mereka akan menjadi loyal pada merek tersebut. Hal ini         dapat dilakukan melalui penciptaan proporsi nilai yaitu dengan memberi nilai tambah bagi suatu produk. Akibatnya,              akan mempengaruhi rasa suka atau tidak suka terhadap merek suatu produk (Aaker dan Myers, 1991)
     Variable sikap terhadap merek diukur dengan menggunakan dimensi sikap terhadap merek (Assael, 2001:82) yaitu        tentang pernyataan mental penerima pesan yang menilai positif atau negative, bagus-tidak bagus, suka-tidak suka,        berkualitas-tidak berkualitas suatu produk.
       Apabila seorang konsumen memiliki sikap yang positif terhadap produk atau jasa yang dijual, maka perusahaan        mempertahankan sikap positif tersebut. Tetapi bila konsumen memiliki sikap yang negatif maka perusahaan perlu        mengetahui sebab-sebabnya dan berusaha untuk mengubahnya agar konsumen tersebut memiliki sikap positif.


Daftar Pustaka        

Afzal, Hasan, Muhammad Aslam Khan,  Kashif ur Rehman, Imran Ali, Sobia Wajahat. 2010. Consumer’s Trust in the Brand: Can it Be Built through Brand Reputation, Brand Competence and Brand Predictability. International Business Research Vol 3 No. 1 Januari 2010

Nasution, Reza dan Widjadjayanto, Angela. 2007. Proses pembentukan kepercayaan konsumen: Studi kasus pada sebuah usaha kecil menengah percetakan digital di Bandung. Jurnal Manajemen Teknologi Volume 6 No. 2 2007 hal 93-113.

Yohana Ari R. 2007. Trust In A Brand dan Hubungannya dengan Loyalitas merek pada Hanphone Nokia. Jurnal Ekobis Volume 8, No. 1, Januari 2007.

Riana, Gede. 2008. Pengaruh Trust In A Brand Terhadap Brand Loyalty Pada Konsumen Air Minum Aqua Di Kota Denpasar. Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana, Denpasar. Buletin Studi Ekonomi Volume 13 Nomor 2 Tahun 2008

Tjahyadi, Rully Arlan. 2006. Brand Trust Dalam Konteks Loyalitas Merek: Peran Karakteristik Merek, Karakteristik Perusahaan, Dan Karakteristik Hubungan Pelanggan-Merek. Jurnal Manajemen, Vol. 6, No. 1, Nov 2006


Team Smart








      















    

    






read more “Kepercayaan merk”

HAM

Secara definitif hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:  pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak.  Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.

Hak merupakan kata yang tidak asing bagi umat manusia di seluruh dunia, karena hak merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hak telah terpatri sejak manusia lahir dan melekat pada siapa saja. Diantaranya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta  kasih  sesama,  hak  indahnya  keterbukaan  dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya.

Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak universal yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena posisinya sebagai manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Hal  ini menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa hal itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.

Piagam PBB Tahun 1948 Pasal 1 Deklarasi HAM sedunia menyebutkan bahwa seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan. Deklarasi PBB memberikan penjelasan seperangkat hak-hak dasar manusia yang tidak boleh dipisahkan dari keberadaannya sebagai manusia.  HAM juga berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.  Atau ada juga yang mengatakan HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki atau pun perempuan. Hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.

Louis Henkin mengatakan ”…human rights are claims asserted recognized “as of right” not claims upon love, or grace, or brotherhood or charity: one does or have to earn or deserve them. They are not merely aspirations or moral assertions but, increasingly, legal claims under some applicable law”. 

Ahli teori politik serta penulis Amerika di dalam bukunya yang berjudul Right of Man pada tahun 1972  mengemukakan pengertian HAM, adalah hak-hak yang dimiliki oleh seseorang karena keberadaannya, di antara hak-hak jenis ini tercakup segala hak intelektual, atau hak berfikir, dan juga segala hak untuk bertindak, sebagai individu demi kenyamanannya sendiri dan kebahagiaannya sendiri, asalkan tidak merugikan hak-hak asasi orang-orang lain. 

Berdasar uraian tentang konsepsi HAM yang telah tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri HAM sebagai berikut:
1. Hak tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2. Hak asasi berlaku dan dimiliki untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, atau asal usul sosial, bangsa. Semua manusia lahir dengan martabat yang sama.
3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang  lain, orang  tetap mempunyai HAM, walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggarnya.


Daftar Pustaka 

Tim ICCE, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, Tim ICCE UIN Jakarta. Kutipan aslinya dapat dilihat dalam James W. Nickel, 1996, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Titi  S. Dan Eddy Arini (alih Bahasa),  Gramedia, Jakarta
James W. Nickel,1996, Making Sense of Human Rights Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human.
Rights, Alih Bahasa: Titi S. dan Eddy Arini, Gramedia, Jakarta.
T. Mulya Lubis, 1987, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan LBHI, Jakarta.
A. Gunawan Setiardja, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsipprinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya.
George Clark dan Kathleen Hug, Hak Asasi.
Tim ICCE, 2003, Kutipan aslinya dapat dilihat dalam Mansour Fakih, et.al, 2003, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Insist, Yogyakarta.
Mansoor Faqih dkk, 1999, Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat, Insist, Yogyakarta.




read more “HAM”

Penegakan Hukum Yang Berkeadilan


Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang : fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.

Unsur yang ke tiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus dihukum : setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyama-ratakan, adil bagi Si Doni belum tentu dirasakan adil bagi si Dani.

Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja. maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya.

Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat : lex dura, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya). tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.

Menurut tatanan UUD'45, untuk menjamin penegakan hukum yang berkeadilan, terdapat berbagai sendi konstitusional, yaitu:  
1. Sendi negara berdasarkan konstitusi (sistem konstitusional) dan negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat).
2. Sendi Kerakyatan atau Demokrasi
3. Sendi kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4. Sendi penyelenggaraan pemerintahan menurut alas-asas penyelenggaraan pemerintah yang baik


Referensi
Sudikno Mertokusumo, 2000, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta.







read more “Penegakan Hukum Yang Berkeadilan”
Copyright © 2010 Blog Smart Consultant All rights reserved.
Wp Theme by Templatesnext . Blogger Template by Anshul