Badan hukum (rechtpersoon, legel persons, persona moralis) adalah subjek hukum. Dalam pergaulan hidup di masyarakat terhadap badan hukum itu menimbulkan pertanyaan yang identik dengan pertanyaan terhadap subjek hukum, yakni apa dan siapa.
Pada pertanyaan pokok tersebut, pertama yaitu apa badan hukum itu tidak lain merupakan persoalan teori hukum sebagai teori dari hukum positif, sedang yang kedua yaitu siapa badan hukum itu merupakan persoalan hukum positif.
Pertanyaan pertama, apa badan hukum itu. Jawabannya dapat bertitik tolak dari jawaban apa subjek hukum yang pengertian pokoknya terumus, yaitu: (1) manusia dan (2) segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pada rumusan yang ke (2) atau terakhir inilah merupakan jawaban apa badan hukum itu.
Jadi jawaban teori hukum sebagai teori dari hukum positif ialah dengan mengemukakan kategori mengenai bentuk dasarnya yaitu badan hukum serta pengertian pokoknya sebagaimana bunyi rumusan bagian ke (2) di atas tadi.
Selain batasan pengertian pokok badan hukum di atas tadi, ada juga sarjana yang mengemukakan batasan apa badan hukum, seperti antara lain menurut Maijers, badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. Logemann, badan hukum adalah suatu personifikasi yaitu suatu bestendigheid (perwujudan, penjelmaan), hak-kewajiban. Hukum organisasi (organisatirecht) menentukan inneelijkstruktuur (struktur intern) dari personifikatie itu.
Menurut E. Utrecht, badan hukum (rechtpersoon), yaitu badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta benar-benar, dalam pergaulan hukum, biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum ialah hak badan hukum itu mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak kewajiban anggotanya. Bagi bidang perekonomian, terutama lapangan perdagangan, gejala ini sangat penting.
Ada lagi suatu keuntungan adanya badan hukum itu. Badan hukum menjamin kontinuitas. Logemann: bestendigheid – hak kewajiban sesuatu penjelmaan – korporasi atau yayasan, biarpun pengurus penjelmaan itu selalu diganti. Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, tetap ada diteruskan sedangkan pengurusnya yang menjadi wakil kontinuitas itu dapat berganti-ganti.
Berbeda dengan pendapat di atas, Bothingk tidak melihat realitas sebagai dasar hukum. Bagi Bothingk badan hukum itu hanya suatu gambar yuridis tentang identitas bukan manusia yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan.
Menurut R. Subekti , badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Sedangkan R. Rochmat Soemitro mengemukakan, badan hukum (rechtpersoon) ialah suatu badan hukum dapat mempunyai harta, hak sewa kewajiban seperti orang pribadi.
Sri Soedewi Maschun Sofwan menjelaskan, bahwa manusia adalah badan pribadi, itu adalah manusia tunggal. Selain dari manusia tunggal dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujud lain, disebut badan hukum yaitu kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan). Kedua-duanya merupakan badan hukum.
H. Th. Ch. Kal dan V.F.M. Den Hartog menerangkan bahwa purusa wajar yakni manusia ialah subjek hukum. Akan tetapi lain daripada manusia, menurut hukum ada juga subjek hukum yang lain, yang tidak bersifat wajar atau makhluk, melainkan merupakan sesuatu organisasi. Organisasi yang memperoleh sifat subjek hukum itu ialah purusa hukum atau badan hukum. Purusa hukum dapat bertindak dalam hubungan hukum sebagai purusa wajar ia boleh mempunyai milik, boleh berunding, boleh mengikat perjanjian, boleh bertindak dalam persengketaan hukum dan sebagainya dan memikul tanggung jawab dalam arti hukum tentang segala perbuatannya.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, pengertian tentang pribadi hukum ialah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai subjek hukum – mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban-kewajiban – seperti yang dimiliki oleh seseorang. Pribadi hukum ini memiliki kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus atau pengelola dan dapat bertindak sendiri sebagai pihak di dalam suatu perjanjian.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian suatu badan hukum, yaitu badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
Sudiman Kartodiprodjo menjelaskan, tiap manusia jadi merupakan orang. Manusia ini merupakan orang yang karena terbawa oleh keadaan bahwa ia manusia. Karena itu orang yang bercorak manusia itu disebut orang asli (natuurlijkr persoon), sebagai lawan subjek hukum lainnya, ialah badan hukum (rechtpersoon).
Hukum memberi kemungkinan, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak, suatu subjek hukum dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa, dan begitu pula dipertanggunggugatkan. Sudah barang tentu badan hukum ini bertindaknya harus dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya melainkan untuk dan atas pertanggung gugat badan hukum.
Orang asli atau disingkat orang diatur dalam Buku I Bab 1 – 3, sedang dasar kemungkinan adanya badan hukum itu diatur dalam Buku III Bab 9 KUHPerdata.
Menurut J.J. Dormeier istilah badan hukum dapat diartikan sebagai berikut:
1. persekutuan orang-orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja;
2. yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu maksud yang tertentu, yayasan itu diperlukan sebagai oknum.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapatlah disimpulkan tentang pengertian badan hukum sebagai subjek hukum itu mencakup hal berikut, yaitu:
1. perkumpulan orang (organisasi);
2. dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbeterekking);
3. mempunyai harta kekayaan tersendiri;
4. mempunyai pengurus;
5. mempunyai hak dan kewajiban;
6. dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.
Dalam pengertian pokok, apa badan hukum itu adalah segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Setelah memperoleh pengertian tentang apa badan hukum, maka pertanyaan kedua tentang siapa badan hukum harus pula dicari jawabannya.
Sehubungan dengan pertanyaan siapa badan hukum, maka jawabannya dapat bertitik tolak dari jawaban siapa subjek hukum menurut hukum positif yaitu manusia dan badan hukum. Jadi siapa badan hukum itu, jawaban atas pernyataan itu pun merupakan persoalan hukum positif, artinya jawabannya tergantung pada hukum yang berlaku di suatu negara tertentu, yaitu apakah sesuatu telah diakui atau ditentukan sebagai badan hukum. Perkataan siapa (sesuatu itu) merupakan pengakuan kualitas atau identitas tertentu menurut hukum positif atau hukum negara tertentu. Contohnya seperti hukum positif Indonesia yang mengakui yayasan sebagai badan hukum (Pasal 365 KUHPerdata dan yurisprudensi), sedang hukum yang berlaku di Inggris tidak. Contoh lain, hukum positif di Indonesia masih belum mengakui firma sebagai badan hukum, sedang hukum Prancis (yurisprudensi dan doktrin) dan Belgia (UU Tanggal 18 Mei 1873), firma adalah badan hukum. Adanya perbedaan tersebut ini karena mendasarkan pada teori-teori hukum yang satu sama lain berbeda.
Dalam perundang-undangan Indonesia sekarang sebagai kelanjutan dari ketentuan-ketentuan Hindia Belanda dahulu, berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, maka ketentuan-ketentuan tentang badan hukum yang masih dualistis dikala itu sampai sekarang masih tetap berlaku walaupun keadaan perundang-undangan yang bersangkutan sudah tidak memadai lagi.
Referensi
Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 18
E. Utrecht, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan X, Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 63
R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 32
Rochmat Soemitro, 1979, Penuntutan Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang Pajak Perseroan, Cetakan VI, Eresco, Bandung, hlm. 13
Sri Soedewi Maschun Sofwan, t.th., Hukum Badan Pribadi, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 24
Saul, 2010, Tesis Magister Hukum
H. Th. Ch. Kal dan V.F.M. Den Hartog, 1955, Pemandangan Ringkas Tentang Hukum Indonesia, Penerbit Noordhoff-Kolff NV, Jakarta, hlm. 56
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional (Suatu Orientasi), Edisi I, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 17
Wirjono Prodjodikoro, 1966, Asas-Asas Hukum Perdata, Cetakan V, Sumur, Bandung, hlm. 25
0 komentar:
Posting Komentar