Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Haliman dalam desertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syariat Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.

Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan pada berat ringannya hukuman, yaitu jinayah, janhah dan mukhalafah.Jinayah di sini adalah jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras atau penjara seumur hidup (Pasal 10 KUHP RPA). Sedangkan janhah adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 11 KUHP RPA). Adapun mukhalafah adalah jenis pelanggaran ringan yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu (Pasal 12 KUHP RPA). *1

Dalam bahasa Indonesia pengertian jinayah sering disebut dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Istilah jinayah atau jarimah sering pula digunakan oleh para fuqaha. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah.

Hukuman had adalah suatu sanksi yang ketentuannya sudah dipastikan oleh nas. Adapun hukuman ta’zir adalah hukuman yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukum ta’zir dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana, situasi dan kondisi masyarakat, serta tuntutan kepentingan umum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir diterapkan tidak secara definitif, melainkan melihat situasi dan kondisi, bagaimana perbuatan jarimah terjadi, kapan waktunya, siapa korbannya dan sanksi apa yang pantas dikenakan demi menjamin ketentraman dan kemaslahatan umat. *2

Jadi definisi jarimah yaitu larangan-larangan syara yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut berkaitan dengan sikap berbuat atau tidak berbuat. Sikap berbuat yang dianggap sebagai suatu tindak pidana, misalkan Al-Qur’an melarang membunuh, dan bila seseorang melakukan pembunuhan maka tindakan orang tersebut dianggap melakukan tindak pidana dengan sikap berbuat. Al-Qur’an melarang berzina, maka zina dianggap pelanggaran hukum. Adapun contoh tidak berbuat yang dapat dianggap sebagai tindak pidana adalah tidak memberi makan kepada orang yang ditahan.

Bahwa suatu perbuatan dianggap delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) : pertama, rukun umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.

Yang termasuk unsur-unsur umum jarimah adalah sebagai berikut :
1. Unsur formil (adanya undang-undang atau nas). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap   melawan hukum dan pelakuny tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang mengaturnya. Dalam hukum positif masalah ini     dikenal    dengan istilah asas legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak     dapat    dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkannya. Dalam syariat Islam lebih dikenal dengan     istilah ar-   rukn asy-syari’i. Kaidah yang mendukung unsur ini adalah “tidak ada perbuatan yang dianggap melanggar     hukum dan    tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nas”. Kaidah lain menyebutkan “tiada     hukuman bagi    perbuatan mukalaf sebelum adanya ketentuan nas”.
2. Unsur materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan     sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam disebut dengan ar-rukn al-madi.
3. Unsur moril (pelakunya mukalaf). Artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana     terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syariat Islam unsur moril disebut dengan ar-rukn al-adabi. Haliman dalam     desertasinya menambahkan, bahwa orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila, bukan anak-anak dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan diri. *3

Unsur-unsur umum di atas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namun dikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalan hukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi  *4

Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir.
1.  Jarimah Hudud yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu  hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu : (a) zina, (b) qazf (menuduh zina), (c) pencurian, (d) perampokan atau penyamunan (hirabah), (e) pemberontakan (al-bagby), (f) minum-minuman keras, dan (g) niddah (murtad).
2.  Jarimah Qisas Diyat yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Baik hukuman gisas maupun diyat merupakan hukuman yang ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si      korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Hukum qisas diyat penerapannya ada beberapa kemungkinan, seperti hukum qisas bisa berubah menjadi diyat, hukuman diyat menjadi      dimaafkan dan apabila dimaafkan maka hukuman menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat: (a)  pembunuhan sengaja (al-qati al-amd), (b) pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd), (c) pembunuhan keliru (al-qatl al-khata), (d) penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd), (e) penganiayaan salah (al-jarh al-khata).
3.  Jarimah Ta’zir, yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukum ta’zir yaitu hukuman selain had dan qisas diyat.*5 Pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.*6



Referensi

*1  Ahmad Hanfi,1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam , Bulan Bintang, Jakarta, hlm 2.
*2  Abd al-Wahab Khalaf, 1998, Ilmu Ushul al-Fiqh, Dar al Qalam, Mesir, hlm.198.
*3  Haliman, 1968, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunah wal-Jamaah, Bulan Bintang, Jakarta., hlm. 48.
*4.  Ahmad Hanafi , Op, Cit, hlm.36.
*5   Marsum, 1998, Jarimah Ta'zir, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm 2.
*6   Ahmad Hanafi, Op,Cit, hlm 47.


Team Smart Consultant