Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, di antaranya merupakan kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaannya boleh ditunda, yaitu termasuk ke dalam kategori derogable rights. Hak-hak yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.

Ada pula sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaanya dalam keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non derogable rights. Hak-hak yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak diberlakukan hukum yang berlaku surut, dan hak untuk bebas berpikir, berhati nurani dan beragama.

Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang bersifat non derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu pelanggaran berat HAM. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata “berat” bermaksud untuk menggambarkan tingkat kerusakan, kerugian atau penderitaan yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut.

Apa yang dimaksud dengan istilah “pelanggaran berat hak asasi manusia”, belum mendapat kesepakatan yang diterima secara umum. Biasanya kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa parahnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata “berat” juga berhubungan dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non derogable.

Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah direncanakan. Misalnya, kebijakan apartheid yang diskriminatif di Afrika Selatan pada masa lalu. Kebijakan tersebut oleh pemerintah Afrika Selatan secara nyata telah membeda-bedakan perlakuan terhadap warga negaranya berdasarkan warna kulit (ras), yaitu antara negro dan kulit putih. Kebijakan “kemurnian ras” yang dilakukan secara sistematis oleh Nazi Jerman semasa Adolf Hitler berkuasa, yaitu dengan melakukan genosida terhadap kaum Yahudi dan Gipsi merupakan pelanggaran berat HAM.

Pelanggaran berat HAM juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang meluas atau widespread. Hal ini biasanya akan mengarah kepada jumlah korban yang sangat besar dan kerusakan parah secara luas yang ditimbulkannya. Namun demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran berat HAM. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan istilah gross and sistematic violations, the most serious crimes, gross violations, grave violations dan sebagainya.

Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran berat HAM sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk (population) secara keseluruhan atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus menerus dilanggar atau diancam.

Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di dalam resolusi, deklarasi, maupun dalam perjanjian HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius. Akan tetapi, hukum HAM internasional khususnya yang dikembangkan di dalam lingkup PBB telah mengakui adanya pelanggaran HAM yang berkategori berat dan sistematis. Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat HAM akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi, “the prohibition of slavery, the rights to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ethnic cleansing”

Dalam studinya, the Battle of Human Rights: Gross Systematic Violations and the Inter-American System, dalam Bab II, Cecilia Medina Quiroga mengajukan proposal mengenai definisi “pelanggaran hak asasi manusia yang berkategori berat dan sistematik”. Mengenai jenis hak yang dilanggar, ia menyebut hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi.

Pelanggaran berat HAM menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.  Yang dimaksud dengan kejahatan genosida:
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”.

Adapun yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah:
“Suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.

Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas substansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma. Menyangkut pelanggaran berat HAM, di dalam the US Restatement of Law dikatakan bahwa suatu pelanggaran HAM dianggap “berat” apabila pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan, karena begitu pentingnya hak yang dilanggar atau beratnya pelanggaran.

Pelanggaran berat HAM termasuk pula dalam kategori extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan).
 
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, walaupun hingga kini belum didefinisikan secara tegas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran berat HAM adalah pelanggaran terhadap HAM yang bersifat non derogable rights serta di dalamnya mengandung unsur-unsur yang bersifat sistematis dan meluas.


Daftar Pustaka

Andrey Sujatmoko, 2005, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan lainnya, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005.

Baehr, 1999, Human Rights Universality in Practice, St. Martin’s Press, New York.

Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan, dalam F. Budi Hardiman, et.al., 2003, Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM



Team Smart